Senin, Desember 08, 2008

KOTA GEMBEL

Oleh: Rasid Rachman

Kolkata, menurut saya, pantas dijuluki kota gembel. Di mana-mana dan kapan pun, ada gembel. Di pingggir jalan, di trotoar, stasiun, depan rumah, dan kaki lima, yang terlihat gembel semua. Siang, malam, dan tengah malam, gembel pria, perempuan, anak, dan bayi selalu kita jumpai. Setahu saya tidak ada kota di Indonesia yang mirip dengan Kolkata.
Gembel di Kolkata adalah mereka yang tidak memiliki rumah sama sekali; bukan yang tinggal di daerah kumuh. Gembel adalah strata terendah dari orang miskin di Kolkata.
Profesi dan pekerjaan para gembel bermacam-macam. Sebagian gembel bekerja menjadi penarik angkong. Sebagian gembel lain menjadi pengemis atau pengamen. Gembel pengangguran juga tidak sedikit. Ada sedikit gembel yang terganggu ingatan. Ada juga gembel kriminal, semacam pencopet, penodong, atau penjambret. Penjambret yang paling menyolok adalah anak yang menjambret air mineral dari tangan. Yang paling baik adalah gembel yang menanti kesempatan baik, misalnya mengambil dompet jatuh atau barang tertinggal.
Gembel tidak perlu ditakuti. Mereka hanya gembel, orang miskin, tetapi bukan orang jahat. Ada yang nakal, misalnya anak-anak yang coba-coba mengambil jam tangan. Mereka cukup dipelototi dengan acungan jrai telunjuk. Namun tidak sedikit gembel yang ramah, suka menyapa.
Mungkin ada juga gembel dan kriminal sekaligus. Saya sendiri tidak berurusan dengan gembel kriminal. Untung! Namun, saling menyapa dengan beberapa gembel ramah di trotoar di depan penginapan saya, hampir setiap hari saya lakukan. Mulanya, gembel itu dahulu yang menyapa. Ucapannya, tidak jelas bagi saya. Tetapi dari senyum dan tawanya, saya tahu mereka bermaksud baik dan ramah. Kalau timbul rasa iba, kami memberikan pisang atau makanan lain ke satu orang gembel. Memberikan makanan jauh lebih baik ketimbang memberikan uang, sekalipun biasanya gembel yang kita beri makanan itu menjual makanan tersebut kepada sesama gembel yang membutuhkan. 

Sabtu, November 15, 2008

RELAWAN

Oleh: Rasid Rachman

Berbagai ragam relawan bekerja dengan para suster Misionaris Cintakasih (MC) di Kolkata. Kebangsaan, warna kulit, agama memang sangat beragam. Dari segi jangka waktu bekerja pun bermacam-macam. Ada yang bekerja selama 3 – 4 bulan, bahkan ada yang sudah 1,5 tahun bekerja di MC ketika saya di sana. Ada pula pula yang hitungan minggu atau hari, bahkan ada yang cuma 1 –2 hari. Cara menjadi relawan cukup dengan melakukan registrasi pendaftaran pada sore hari di Mother’s House, lalu bekerja keesokan harinya atau ... ada juga yang kemudian tidak datang lagi.
Namanya saja relawan, bekerja yah serelanya. Ada yang agak main-main, namun ada pula yang bekerja dengan sangat giat dan serius. Kelompok yang terakhir ini biasanya memang pelancong tulen dan berasal dari negara yang mapan. Mereka tidak punya keluarga dan pekerjaan, tetapi duit ada terus – minimal untuk tidur di mana saja dan makan apa saja.
Jumlah relewan yang “menetap” lama atau agak lama ini tidak banyak. Oleh karena itu biasanya mereka dikenal oleh pegawai dan suster MC di center tempat bekerja. Tidak heran apabila kehadiran relawan jenis ini cukup populer dan berkesan, baik di hati para pegawai dan suster maupun di hati para relawan. Tidak sedikit yang diserahkan tanggungjawab oleh Suster Kepala sebagai koordinator atau menjalankan tugas tertentu di MC. Ada relawan koordinator barak pria di Kalighat, atau relawan penerima pendaftaran calon relawan, dsb.
Ada dua orang relawan asal Seraleon yang setiap tahun bekerja di Prem Dan. Hal itu sudah dijalaninya selama delapan kali, atau delapan tahun. Setiap tahun kedua orang ini kembali lagi ke Kolkata, bergabung di MC selama 2 bulan, dan bekerja di Prem Dan. Semua karyawan Prem Dan mengenalnya. Bekerja sebagai relawan mendatangkan cinta kasih kepada sesama.




Relawan adalah orang yang bekerja bukan karena banyaknya teman atau rekan. Relawan sejati tetap bekerja sekalipun sendiri; dan tidak mengeluh karena tidak ada seorang pun menemaninya bekerja.
Relawan tidak mencari perhatian. Ia bekerja tepat waktu, dan menyelesaikan pekerjaan secara baik dan tenang-tenang.
Relawan tidak perlu seorang yang pandai bergaul, tetapi ia mampu bekerja sama dengan orang lain.
Seorang relawan tidak perlu bertenaga besar untuk melakukan apa pun tanpa lelah (seperti kerbau!), tetapi ia tidak memilih-milih jenis pekerjaan – kecuali alasan kesehatan.
Relawan bekerja dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan, supaya tidak menjadi beban bagi orang lain atau menjadi beban bagi para korban yang seharusnya ditolongnya.
Relawan bekerja bukan demi upah atau penghargaan, melainkan demi cinta kepada sesama dan pekerjaan itu sendiri. 

Kamis, November 06, 2008

PERPISAHAN


Oleh: Rasid Rachman

Perpisahan adalah hal lazim, sebagaimana pertemuan sesama relawan. Terutama di musim liburan, hampir setiap hari ada relawan baru, dan hampir setiap hari ada relawan yang pergi. Selama bersama-sama bekerja sebagai relawan, ada saatnya seseorang harus kembali ke negara asalnya atau melanjutkan pelancongannya.
Perpisahan tidak diadakan secara khusus. Biasanya sebelum makan siang bagi pasien, di mana semua unsur berkumpul di sekitar meja pembagian konsumsi, relawan yang dihajatkan itu diberikan atau dikalungkan bunga oleh pasien, atau suster, atau pegawai. Lalu dinyanyikan, selesai. Itu bagi yang memang sangat terkesan. Biasanya mereka bekerja lama, lebih daripada 3 bulan, dan menetap di satu tempat pelayanan.
Bagi relawan “biasa-biasa” saja, namun akrab juga di kalangan relawan, biasanya di kalungkan bunga (itu pun kalau sempat dibuatkan kalungan bunga oleh teman-teman relawan) dan dinyanyikan di sela-sela acara. Waktu yang asik adalah waktu istirahat para relawan, sekitar pukul 10.00.
Bagi kelompok relawan hampir menyendiri, alias yang tidak dikenal tapi gaul, beberapa relawan biasanya mengucapkan selamat berpisah saja. Buat janji berkirim email dan berkirim surat adalah hal biasa di waktu seperti itu. Lalu, relawan yang mau pergi itu memotret kiri-kanan untuk kenangan.
Bagi relawan cuek atau gak gaul, biasanya memang tidak diacarain apa-apa. Dia cuek, kita juga cuek. Kapan datangnya, tidak ada yang tahu. Kapan perginya, juga tidak diketahui. Lebih tragis lagi, keberadaannya pun nyaris tidak diketahui, namun kadang diomongin di sela-sela istirahat para relawan. Orang-orang dalam kelompok ini memang sangat sedikit, namun bisa saja menjadi populer juga karena sikapnya yang cuek abis itu. 

Rabu, Oktober 29, 2008

Berhening di Makam Bunda


Oleh: Rasid Rachman

Bunda Teresa dimakamkan di Mother House. Makam itu terletak di bagian depan (namun pintu masuk adalah dari arah belakang, maka makam ini tidak pas di pintu masuk tersebut), menyatu dengan tempat para suster melakukan aktivitas harian. Di atas makam, di lantai 2 terletak kapel. Di kapel itu dilayankan ibada-ibadah harian untuk komunitas dan umum, pagi pukul 06.00 dan senja pukul 18.00.
Area makam sekitar 10 m x 6 m. Pintu masuk terletak disebelah kepala pusara, dari arah dalam Mother House. Pusara jasad Bunda Teresa setinggi 120 – 140 cm, panjang sekitar 200 cm dan lebar sekitar 180 cm. Pusara itu berwarna putih krem berbatu pualam. Suasana sejuk dan tenang terasa di dalam makam itu, kontras dengan semrawut dan bisingnya Kolkata.
Tidak ada yang istimewa dari penempatan makam tersebut. Mau ke makam itu, tidak dikenakan prosedur apa pun, kecuali pembatasan waktu berkunjung. Siapa saja boleh masuk-keluar, berkunjung, berziarah mempersembahkan bunga, atau sekadar melihat-lihat foto dan tulisan tentang Bunda Teresa. Kadang-kadang, lokasi makam itu juga digunakan untuk saling berbicara. Asal semua orang saling menghormati, dan menjaga kekhidmatan tempat tersebut.
Saya seringkali ke makam itu jika libur bekerja atau sore hari. Biasanya tanpa alasan jelas; sekadar menghabiskan waktu atau beristirahat atau sekadar berhening. Kesunyian dan keheningan kadang menjadi kebutuhan setelah seharian beraktivitas. Di dalam keheningan itu, saya merasakan hadirnya Bunda Teresa di ruang itu. Aman dan nyaman.
Namun keberadaan itu adalah istimewa. Makam itu bukan hanya mendatang aura spiritualitas Bunda Teresa, tetapi juga menjadi oasis bagi setiap orang yang mencari kesunyian dan keheningan. Ketiadaan “oasis” rutintas dan aktivitas itulah yang seringkali dilupakan sebagai suatu kebutuhan. 

Selasa, Oktober 28, 2008

JEMAAT-JEMAAT YANG SAYA KENAL

Oleh: Rasid Rachman


Sejak kuliah hingga kini, saya telah menjelajani beberapa Jemaat GKI. Hal itu terjadi dengan berbegaia alasan. Ada yang karena tuntutan studi, peraturan gerejawi, atau karena gagal, tidak betah, atau mutasi baik-baik. Kini, semuanya memberikan kesan yang mendalam.
Pertama, Collegium Pastorale 1987 selama 2 bulan. Jemaat menengah ini begitu ruwet dengan tempaan Gerakan Reformed Injili yang banyak merongrong kemapanan GKI saat itu. Para orang muda dikompori untuk merasa lebih benar dan ortodoks di dalam doktrin-doktrin Kristen. Sesuai dengan sifatnya yang kritis (alih-alih: fundamentalis), mereka menjadi militan kepada Pendeta, Penatua, warga jemaat, bahkan kepada institusi gereja. Beberapa pengunjung bermuka badak masuk ke Jemaat dan mengobok-obok Jemaat untuk menegakan fundamentalisme reformed injili. Mereka ada di Komisi Pemuda, Komisi Remaja, dan beberapa di Komisi Anak. Memang, beberapa orang muda terkena pengaruh buruk reformed injili di Jemaat ini. Tidak sedikit dari mereka yang agresif terhadap Pendeta, Penatua, dan Tata Gereja
Kedua adalah Jemaat untuk menjalani Masa Orientasi 1989. Jemaat kecil ini hanya terdiri dari 200 orang. Jemaat keluarga ini mengutamakan keakraban dan kekeluargaan. Formalitas, rasanya tidak laku di sini. Demikian pula kualitas program, bukan kebutuhan utama. Yang penting adalah terjaganya suasana kekeluargaan. Satu sakit, semua menjadi sakit. Satu bergembira, semua tertawa. Hingga kini, setelah hampir 20 tahun secara resmi saya meninggalkan Jemaat ini, hubungan informal tetap terjalin.
Ketiga, kembali saya berhadapan dengan pengaruh fundamentalisme dari gerakan reformed injili di sebuah Jemaat besar. Walaupun kekuatan reformed injili di GKI tidak lagi sekuat tahun lalu, namun dampak dan kegarangannya masih menonjol. Sekarang dan di Jemaat ini malah lebih berbahaya, karena bergerilya, tidak terang-terangan. Beberapa Penatua bahkan telah terpengaruh dan masuk. Di Pemuda, Remaja, dan Sekolah Minggu malah lebih berani. Fundamentalisme telah merasuk, sehingga tidak begitu tampak di permukaan. Enerji pengelola Jemaat untuk mendamaikan ajaran ini terkuras, sehingga pembangunan Jemaat terabaikan.
Setelah beberapa belas tahun kemudian, Jemaat ini memang telah “jinak”, tetapi perannya sebagai salah satu Jemaat besar di GKI tidak lagi kentara; kejayaannya telah pudar. Merosotnya pengunjung ibadah mau tak mau menguras konsentrasi Jemaat untuk menanggunglanginya. Fundamentalisme membuktikan diri bukan sebagai pembangun GKI, tetapi membunuh GKI dari dalam.
Keempat adalah Jemaat menengah juga. Fundamentalisme tidak kuat, tetapi beberapa orang cukup loyal ke reformed injili; injili tradisional cukup kuat, tetapi sebagian kebanyakan orangnya tetap orang Kristen baik-baik; dan model GKI juga kuat, dengan orang-orangnya yang justru tidak mencerminkan semangat membangun GKI.
Orang-orang injili model pantekostal tidak terlalu banyak berperan di dalam Jemaat setelah memiliki “lapangan” kerohanian di luar Gereja. Sayang sekali. Padahal peran mereka sebetulnya tetap dibutuhkan. Warna teologi dan selera kerohanian yang berbeda ini memang serba dilematis.
Orang-orang yang nampaknya pro-GKI – biasanya terdiri dari mereka yang merasa berjasa mendirikan Jemaat ini alias orang lama – seringkali mempermainkan Tata Tertib GKI. Peraturan-peraturan untuk mendukung pelayanan, semisal kewajiban MJ kepada Pendeta, peremajaan komputer, perhatian kepada karyawan gereja, perhatian kepada orang miskin, dan pastoral kepada jemaat, justru sangat sulit diterapkan.
Kelima adalah Jemaat yang mengutamakan keakraban dan kekeluargaan. Konflik, berusaha diredam. Tetapi inovasi, memang agak lemah. Di sini, pengaruh reformed injili tidak ada. Sekalipun ada beberapa orang yang memiliki selera kerohanian “rada aneh”, namun peran mereka dapat dikendalikan atau dilokalisasi. Memang, keharmonisan kehidupan berjemaat jangan sampai ditenggelamkan oleh kualitas seseorang dengan ambisi menguasai Jemaat Tuhan.
Keenam adalah Jemaat pertama dan terlama yang saya kenal. Ini Jemaat gado-gado campur, terutama dalam hal penerapan ajaran. Pengaruh dari figur beberapa orang cukup kuat, sehingga ketergantungan dan status quo juga (= mudah-mudahan tidak) menjadi model Jemaat berusia lebih daripada 20 tahun ini.
Jemaat ketujuh ...? Tersembunyi ujung jalan, dengan Bapa aku maju dengan mata terpejam. ®

Jumat, Juli 18, 2008

K O R I D O R

Oleh : Rasid Rachman









Bagi setiap asket (orang yang selalu melatih diri)
jalan atau lorong merupakan koridor
atau jalan bebas dan terbatas

*) Gambar-gambar di atas diambil dari pemakaman raja di Hue, replika penjara di Ho Chi Min City (Saigon), dan Istana Reunifikasi HCMC, Vietnam.

Kamis, Mei 29, 2008

BUNDA TERESA

MUJIZAT KEMANUSIAAN ABAD KE-20


Oleh : Rasid Rachman

Menyaksikan film Teresa kita menyaksikan salah satu keajaiban (mujizat) di abad ke-20 adalah Bunda Teresa dari Kolkata. Beberapa adegan di dalamnya membuat kita terkesima dan terkagum-kagum. Namun film masih ada batasnya. Kita akan lebih terkesima dan terkagum jika langsung terjun ke dalam pelayanan di pusat-pusat pelayanan Bunda Teresa yang dikelola oleh Misionaris Cintakasih (Missionaries of Charity) atau MC.
Konsentrasi pelayanan MC pada poorest of the poor, menyebabkan Takhta Suci Vatikan mengabulkan proposal pendirian ordo baru ini pada abad ke-20. Dewasa ini banyak relawan dari mancanegara melibatkan diri dalam pelayanan MC di Kolkata. Sepanjang tahun, silih berganti relawan, baik muda maupun usia menengah melibatkan diri bersama para suster-bruder MC mengurus para pasien di pusat-pusat pelayanan MC.
Beberapa pusat pelayanan (centres) yang mengundang keterlibatan relawan, yaitu: Kalighat, Prem Dan, Shanti Dan, Shisubavan. Saya mengambil pelayanan di Pram Dan.
Kerja di Prem Dan hanya dilakukan pada pagi hari. Suster Nirmala Maria, MC adalah orang pertama yang menjelaskan kepada saya tentang arti nama itu. Prem berarti love dan Dan berarti gift. Prem Dan berarti Gift of Love. Lokasi Prem Dan cukup luas. Tidak seperti Kalighat yang hanya terdiri dari satu gedung, Prem Dan terdiri dari beberapa gedung besar untuk bangsal pasien dan dapur, halaman luas, kapel, dan kandang hewan. Kesan saya, Prem Dan laksana desa kecil.
Setelah sarapan di Mother’s House, sekitar pukul 07.30 kelompok kerja Prem Dan berangkat. Sebagian orang memilih naik bis dengan tarif Rs 3,00, dan sebagian lainnya berjalan kaki selama sekitar 30 menit. Prem Dan adalah tempat pelayanan dan penampungan orang dewasa yang mengalami cacat fisik, cacat mental, polio, sakit kulit dan luka luar lainnya. Secara mental, kerja relawan di Prem Dan tidak seberat di Kalighat, hanya secara fisik memang cukup berat.
Ada sekitar 100 pasien pria dan 50 pasien perempuan. Sebagian besar pasien tetap harus dilayani karena lumpuh sama sekali. Hanya sebagian pasien yang mampu mengurus dirinya sendiri dan sebagian kecil pasien yang dapat memberi pertolo­ngan pada sesama pasien lain untuk keperluaan ringan sesehari; itu pun dengan pengawasan. Sebagaimana di pusat-pusat pelayanan lainnya, relawan pria bekerja di bangsal pasien pria dan relawan perempuan bekerja di bangsal pasien perempuan.
Kerja dimulai pada pukul 08.00. Sekitar satu jam pertama kami menyapu, meny­i­ram lantai bangsal, dan membersihkan tempat tidur pasien. Tampaknya mudah dan ringan. Namun jangan bayangkan pekerjaan tersebut sejajar dengan member­sih­kan kamar tidur di rumah sendiri. Sebelum menyapu, bale-bale besi disusun dahulu di satu tempat. Selain tempatnya lebih besar daripada kamar tidur, kotoran lantai yang harus dibersihkan pun berasal dari berbagai jenis termasuk kotoran manusia. Maklum sebagian besar pasien Prem Dan mengalami cacat lumpuh, buta, patah tulang kaki, tuna wicara, dan polio. Tidak sedikit dari mereka yang menderita sekaligus 2-3 cacat. Bagaimana kalau mereka perlu sesuatu yang mendesak ketika petugas tidak ada. Petugas dan suster yang menetap di Prem Dan yang luas itu hanya sekitar 15-20 orang, padahal pekerjaan begitu banyak, bukan hanya mengurus 150-an pasien. Hari pertama saya di Prem Dan, ketika kami sedang menyiram lantai, tiba-tiba di dekat kami ada seorang pasien tua yang terjatuh dari kursi rodanya dan tergeletak di lantai basah. Tidak ada yang melihatnya. Hanya seorang relawan dari Swedia dan saya. Kami buru-buru menghampiri pasien yang ternyata bisu dan sangat kurus itu. Dengan sangat berhati-hati kami berdua mengangkatnya dan meletakannya kembali ke kursi rodanya. Ternyata sebelum jatuh, entah berapa lama sebelumnya, dia sudah kencing. Di dalam tubuhnya sendiri ada luka bernanah yang cukup besar, sehingga nanahnya berlepotan di sarungnya bercampur air kencing dan sedikit tinja. Baunya minta ampun. Tentu saja kami tidak mengenakan sarung tangan dan masker ketika membersihkan lantai, dan tidak perlu pula mengenakannya dahulu untuk mengangkat orang terjatuh dari kursi roda. Orang itu memerlukan pertolongan. Hari-hari berikutnya, pengalaman seperti itu sudah menjadi hal biasa.
Saya membayangkan bagaimana bentuk pelayanan semacam itu melahirkan spiritualitas kasih dan kesetiaan menjalan­kan panggilan Tuhan secara tulus pada Bunda Teresa. Dia berada di antara ratusan orang sakit dan cacat yang kondisinya jauh lebih parah. Kasih memang bukan komoditas khotbah, melainkan perbuatan. Bagi Bunda Teresa, bahkan iman sekalipun bukan tujuan akhir hidup berspiritualitas, melainkan awal suatu perbuatan.


The fruit of Silence is Prayer
The fruit of Prayer is Faith
The fruit of Faith is Love
The fruit of Love is Service
The fruit of Service is Peace

Panggilannya bukan pada menolong orang sakit, tetapi mereka yang menjadi sendiri-sepi karena sakitnya, dari kaum termiskin dari orang miskin.
Kamis adalah hari libur resmi bagi para relawan. Biasanya, Mother’s House menyelenggarakan acara perkunjungan ke salah satu pusat pelayanan mereka sambil memperkenalkan spiritualitas Bunda Teresa. Selain hari libur dan jalan-jalan, Kamis tentu merupakan kesempatan besar bagi saya untuk menimba sebanyak mungkin disiplin spiritualitas Bunda Teresa. Suatu Kamis, saya ikut ke Titagarh, pusat rehabilitasi lepra yang dikelola oleh Missionaries of Charity. Ada sekitar 100 penderita, sebagian bekerja menenun, sebagian masih terbaring. Tempat itu sendiri bersih, jauh dari dugaan saya sebelum berkunjung. Semula saya bepikir, orang lepra adalah orang yang sangat menderita hanya karena sakitnya. Namun, spirit Bunda Teresa membuka mata saya bahwa mereka adalah orang yang ditolak dan menjadi sendiri karena sakitnya. Seorang penderita, Jehangir, sekitar 50 tahun dari negara bagian Bihar, mengisah­kan demikian: “Hanya satu kali dalam sembilan tahun ini aku pulang ke rumah. Aku mengendap-endap masuk ke rumahku sendiri seperti maling. Tidak akan aku membiarkan orang-orang sekampungku melihatku. Ayahku hanya dapat menangis melihatku. Istriku tidak mungkin lagi dekat-dekat denganku. Dua anak perempuanku yang masih kecil bergelantungan dan menciumi aku. Mereka belum belajar akan rasa takut. Aku sangat rindu untuk pulang, namun aku harus merelakan keluargaku hidup secara normal. Jika orang-orang sekampungku menge­tahui aku menderita lepra, siapa yang mau menikahi anak-anak perempuanku?”
Kisah tersebut saya baca dari buku tentang Mother Teresa ketika sedang sendiri, jauh dari keluarga. Oleh karena saya mengambil pelayanan pagi saja, maka setelah istirahat siang, saya berpeluang membaca buku. Buku tersebut saya baca di saat luang sore hari. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Jehangir dan banyak penderita kusta lainnya tertolak oleh keluarga dan masyarakatnya sendiri. Belum lagi menyaksikan ratusan anak yang dibuang oleh orangtuanya. Sebagian dari mereka menghuni Sishu Bawan. Hausnya anak-anak itu akan kasih sayang tampak begitu para relawan memasuki area mereka. Seorang relawan digelendoti oleh beberapa anak sekaligus. Mereka minta bermain.
Di Kamis yang lain, saya mengikuti program spiritualitas Bunda Teresa di Shanti Dan, masih di Kolkata. Lokasi Shanti Dan (gift of peace) lebih luas daripada Prem Dan. Betul-betul seperti perkampungan tersendiri. Di sana ada penampungan anak-anak yang menderita sakit berat (di antaranya TBC), sekitar 150-an mantan narapidana perempuan, dan beberapa penderita AIDS. Romo Debello dari Kanada (kebetulan dia adalah salah seorang murid Anthony de Mello dari India) menghantar kami keliling untuk bertemu dengan orang-orang yang sebetulnya tidak perlu diasingkan oleh masyarakat.
Sebagai relawan, saya mengeluar­kan banyak biaya, waktu, kesempatan bersenang-senang dengan keluarga, dan mengorbankan sebagian waktu cuti. Para suster dan bruder Missionaries of Charity pun tahu hal itu, bahwasanya para relawan yang bekerja di Mother’s House telah mengeluarkan dan mengor­ban­kan banyak hal untuk tiba di sana., termasuk waktu bersenang-senang di negeri asing. Namun, mengapa kami tetap memilih menjadi relawan? Tidak sedikit wisatawan yang datang ke Kolkata hanya ingin menjadi relawan di MC. Bahkan beberapa relawan menjadi betah bekerja di sana; ada yang sudah 4 bulan menjadi relawan. Relawan yang membantu memberikan briefing kepada kami sudah menjadi relawan selama 14 bulan. Jawabannya, sebab saya atau kami, para relawan, justru mem­peroleh lebih banyak hal yang tak ternilai dari spiritualitas Bunda Teresa. Sesungguhnya, bukan kami yang memberi, melainkan Bunda Teresa yang memberi, kami mendapat. Selain pengalaman spiritualitas, kami dapat bertemu dengan sesama relawan dari manca negara. Tanpa undangan, janjian, batas waktu, prosedur pendaftaran, dan seleksi, Bunda Teresa telah membuat kami berkumpul dan bertemu. Bukan hanya lain bangsa, tetapi juga etnis, bahasa, budaya, agama, dogma, kepercayaan, dan sebagainya. Saat itu ada sekitar 100 relawan yang berkumpul dan bekerja sama. Suatu pengalaman beroikumene yang besar, tanpa embel-embel suara denominasi dan doktrin aliran tertentu. Bahkan kedudukan dan pangkat tidak lagi diperhitungkan, sebab semuanya datang untuk bekerja – siapa pun dan apa pun dia.
Menjadi relawan MC adalah pelatihan disiplin spiritualitas dan pemu­lihan motivasi, sambil mengisi liburan. Bertahun-tahun bekerja untuk diri sendiri telah menguras banyak segi dan idealisme panggilan semula. Tak heran, kerja menimbulkan kejenuhan dan stres. Hal-hal praktis dan pemecahan masalah secara pragmatis seringkali meninabobokan saya untuk tidak perlu lagi berpikir jauh dan dalam. Mengambil waktu beberapa pekan di Kolkata telah membangkitkan kembali semangat bekerja rutin tersebut. Bahwa­sa­nya spiritualitas bukan sekadar setumpuk teori, tetapi melakukan perbuatan yang bermakna bagi orang lain. Dengan demikian, kita menemukan kembali makna hidup sendiri yang selama ini mungkin tenggelam di dalam rutinitas dan kenik­ma­tan. °

*) Ini adalah makalah untuk Presentasi Spiritualitas Bunda Teresa di Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Barat, di GKI Sutopo-Tangerang, Februari 2007.

Selasa, April 22, 2008

NIAS 2005







































































Hancur ..., tetapi ada pengharapan
Remuk ..., tetapi ada pemulihan
Runtuh ..., tetapi ada pertumbuhan
Hilang ..., tetapi ada penciptaan



*) Foto-foto ini diambil oleh seorang teman untuk mengenang tsunami dan gempa bumi di Nias 2005.




Jumat, April 04, 2008

PUASA


Oleh: Rasid Rachman


Pendahuluan
Tradisi berpuasa telah dikenal oleh umat manusia secara universal sejak berabad-abad lalu. Pada umumnya praktek berpuasa dihisapkan ke dalam ritus keagamaan, namun ada pula berpuasa yang dilakukan tanpa tata cara agama. Secara kronologis menurut kemunculannya, agama-agama besar seperti Hinduisme (abad ke-15 SM) menjelang hari raya Nyepi dan hari raya Saraswati, Yudaisme (abad ke-10 SM), Konfusianisme (abad ke-5 SM), Budhisme (abad ke-6 SM), Shinto, Kristen (abad ke-1 M) selama masa Prapaska, Taoisme (abad ke-2 M), dan Islam (abad ke-7 M) selama bulan Ramadhan, telah mempraktekkan puasa hingga hari ini. Demikian pula dengan agama-agama suku dan beberapa kebudayaan manusia, semisal: Indian-Amerika, Jawa, Cina, India, Yunani, dan sebagainya.
Khusus di dalam kekristenan, secara suka rela berpuasa tetap dipraktekkan baik secara komunal maupun personal. Puasa di dalam kekristenan berakar dari tradisi Yudaisme (dan mempunyai kesejajaran dalam Islam), tetapi tidak sama. Walaupun ada beberapa Gereja yang menetapkan puasa secara resmi dan ada pula yang tidak menetapkannya secara resmi, tetapi praktek itu dengan segala tata caranya terdapat di dalam kekristenan.

1. Arti etimologi dan tujuan
Puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu: upa dan wasa.
Upa, semacam perfiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha Kuasa, seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi upawasa, atau yang kemudian pengucapannya menjadi puasa, tidak lain daripada cara mendekatkan diri dengan Tuhan. Sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, puasa adalah pelatihan mental yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia.
Dengan demikian, puasa – terutama dalam agama Hindu – dipahami sebagai sarana, cara, atau metode untuk mencapai sesuatu. Dalam hal ini, mencapai sesuatu itu adalah membarui sikap. Oleh karenanya, sifat puasa adalah sakral, karena dihubungkan dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa dapat dijalankan oleh lembaga, komunitas, atau individu.
Berdasarkan pengertiannya, puasa tidak bertujuan pada dirinya atau untuk berdiet, melainkan bertujuan untuk membarui sikap iman melalui pelatihan spiritualitas.

2. Perjanjian Lama
Orang Israel dalam Perjanjian Lama telah mengenal praktek berpuasa sejak lama. Secara umum puasa berasal dari kata tşŭm (berpuasa) tşŏm (puasa) atau ānna nafsyô (menekan hawa nafsu). Berpuasa menurut pengertian tersebut dijalankan dengan cara berhenti atau mengurangi makan (dan kadang-kadang minum) selama beberapa saat dalam rangka perendahan diri secara khidmat kepada Allah. Perendahan diri tersebut dilakukan dalam rangka berbagai hal, misalnya: penyesalan dan pendamaian kepada Allah dari kesalahan manusia (1Sam 7:4-6; 1Raj 21:27; Dan 9:3); duka cita (1Sam 31:13); perjuangan (2Sam 12:16,20-23; Est 4:15-17); merencanakan kemenangan melalui perang (Hak 20:26-30; 2Taw 20:3); Persiapan menyambut penyataan TUHAN (Kel 34:28; Ul 9:9; Dan 10:3); persiapan untuk pertobatan dan perdamaian menjelang hari raya Pendamaian (yom Kippur) pada tanggal 10 Tishri (bulan ke-7); mengenangkan kejatuhan Yerusalem dan pemulihan TUHAN atas Israel (Zak 7 – 8)
Berdasarkan uraian tersebut, fungsi puasa dalam Perjanjian Lama tidak melulu sebagai sarana, cara, atau metode (terutama untuk mencapai kesempurnaan). Fungsi puasa juga sebagai tanda, simbol, persiapan, pengudusan diri, dan tekad di dalam memperjuangkan sesuatu. Puasa seringkali dilakukan secara komunal di dalam liturgi dan bersifat suka rela. Sekalipun cara berpuasa hanya dihubungkan dengan makanan dan minuman, tetapi seringkali berpuasa diikuti
dengan berpantang.
Berpantang tidak hanya menyangkut soal makan dan minum. Berpantang dilakukan dengan mengerjakan sesuatu sebagai tanda, misalnya: penyesalan. Israel (Hak 20:26) berpantang dengan menangis dan mempersembahkan kurban. Ahab (1Raj 21:27) berpantang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Israel berpantang dengan menangis dan mengaduh (Yl 2:12).

3. Perjanjian Baru
Tidak seperti dalam Perjanjian Lama yang lebih mengulas praktek berpuasa, puasa di dalam Perjanjian Baru mulai dipersoalkan penggunaannya. Puasa dalam bahasa Yunani ialah νηστεύω (tidak makan), atau dari άσιτος atau άσιτία. Arti kedua lebih menjelaskan kepada arti berpuasa terpaksa tidak makan (Kis 27:21). Sedangkan arti pertama lebih menjelaskan pada disiplin berpuasa sebagai suatu ibadah. Yesus berpuasa (νηστεύσας) selama empat puluh hari siang dan malam (Mat 4:1-11). Ketiga jawaban Yesus melawan Iblis menggambarkan hal ketergantungan manusia hanya kepada Allah. 1) “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman Allah.” 2) “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu.” 3) “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu.” Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Di dalam ketergantungan kepada Allah, manusia mengendalikan dirinya.
Di samping itu, rupanya ada kelompok manusia yang menyalahgunakan puasa (Mat 6:16). Yesus menyinggung hal berpuasa, “Apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik (maksudnya adalah orang-orang Farisi), supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Penulis Matius merujuk kepada praktek berpuasa yang dilakukan secara salah sebagaimana tertulis di dalam kitab Nabi-nabi.

4. Berpuasa dalam naskah Patristik
Hakikat berpuasa dalam Alkitab tidak sama 100% dengan berpuasa dan berpantang dalam sejarah Gereja. Ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh Gereja dan ada beberapa hal tidak ada dalam tradisi Yahudi. Naskah-naskah berikut membuktikan bahwa berpuasa telah dipraktekkan oleh Gereja – terutama kaum asket – sejak awal sekali.
Didakhe 7 (± 120 – 150) “sebelum pembaptisan, orang yang membaptis dan orang yang akan dibaptis harus berpuasa, dan orang lain pun boleh semampunya. Dan kamu harus mengatakan kepada calon baptis untuk berpuasa selama satu atau dua hari sebelum pembaptisan.” Secara tradisi, pembaptisan dan perjamuan kudus dilaksanakan pada hari Minggu Paska. Jadi, puasa calon baptis dilakukan pada Jumat dan Sabtu dalam masa raya Paska. Sejak abad ke-2 dan ke-3, kebiasaan berpuasa ini diperluas menjadi hari-hari tertentu yang ditetapkan sebagai hari puasa. Hingga kini, berpuasa sebelum perjamuan kudus pada hari Minggu masih menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang Kristen.
Puasa dan derma
Salah satu tujuan atau hikmat berpuasa yang belum dimunculkan pada zaman Alkitab, adalah praktek berpuasa yang diikuti dengan berderma. Seorang filsuf dan apologis: Aristides dari Athena (± 140) dalam Apologia-nya – ketika berbicara tentang sikap hidup orang Kristen di antara bangsa kafir – menuliskan tentang sikap yang baik bagi seorang Kristen. Antara lain dituliskannya:
“Jikalau terdapat orang miskin atau orang kekurangan di antara mereka (maksudnya: orang asing atau orang Kristen), dan jika mereka (maksudnya: orang Kristen itu) tidak mempunyai makanan lebih sama sekali, maka mereka berpuasa selama dua-tiga hari agar dapat memberikan makanannya kepada yang membutuhkannya.”
Apakah benar ajaran Aristides ini dilakukan secara demikian oleh orang-orang Kristen pada abad ke-2 itu, memang tidak ada bukti. Namun uraian ini dapat menjadi salah satu tolok ukur tentang sikap derma dan perhatian sosial dari berpuasa. Kaum asket memberlakukannya. Antonius dan Benediktus memperhatikan persoalan ini sebagai ajaran hidup monastik. Hanya, dari Aristides kita dapat merujuk dan melihatnya secara luas kepada kitab Nabi-nabi. Para Nabi (Yes 58:3-7; Yer 14:12; Za 7:5) mengecam orang yang salah dalam berpuasa. Berpuasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, membagikan rotimu kepada yang lapar” (Yes 58:3-7).
Pada masa kini, hal berderma waktu berpuasa dapat dilihat dalam Gereja Roma Katolik di seluruh dunia dan umat Islam melalui zakat fitrah. Umat Katolik menetapkan hal berderma melalui berpuasa; dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan (APP). Antara lain diinformasikan sebagai berikut:
“Puasa adalah gerakan tobat bersama yang bertujuan memurnikan kehidupan Kristiani dengan bertobat dan beramal, antara lain dengan mengumpulkan derma di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Katolik untuk proyek-proyek amal, sosial, dan pembangunan, ¼ dan proyek-proyek kemanusiaan di negara-negara berkembang.”
Dengan merujuk praktek tersebut, dapat dikatakan bahwa berpausa dan berderma merupakan hakikat puasa Gereja sejak awal sejarahnya.

Praktek berpuasa
Didakhe 8 menuliskan sebagai berikut: “Janganlah engkau melakukan puasamu seperti orang kafir (masudnya: orang Yahudi). Mereka berpuasa pada Senin dan Kamis, tetapi kamu harus berpuasa pada Rabu dan Jumat.”
Kedua hari tersebut dianggap berhubungan dengan peristiwa kematian Yesus, yakni ketika Yudas berkhianat untuk menjual Gurunya dan hari kematian-Nya. Gereja Timur dan beberapa tradisi kekristenan Barat tetap memberlakukan kedua hari tersebut sebagai waktu berpuasa sepanjang tahun di luar masa Prapaska. Pada masa Prapaska, lazimnya Gereja memberlakukan puasa lebih intensif selama dua pekan menjelang Paska; semakin dekat kepada Paska, maka berpuasa semakin intens terutama pada Jumat Agung dan Sabtu Sunyi. Pada masa Prapaska selama empat puluh hari itu diberlakukan pula kepada para calon baptis.
“Angka 40 mengingatkan akan empat puluh tahun umat Israel menjelajah di gurun pasir sebelum memasuki Tanah Suci, empat puluh hari Musa berada di Gunung Sinai, dan terutama empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa.”
Biasanya umat berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung dan berpantang makan daging atau jenis pantangan lain yang ditentukan sendiri oleh pribadi yang menjalankannya. Misalnya tidak merokok, pantang gula, pantang garam, pantang pesta, pantang hiburan, dsb. Dalam beberapa kesempatan pun, semisal: sebelum pembaptisan, sebelum perjamuan kudus, sebelum kebaktian, banyak orang Kristen berpuasa singkat. Oleh karena sifat puasa adalah suka rela dan personal, maka waktu dan bentuknya bisa tidak dimutlakkan. Namun tujuan puasa untuk berhemat dan menahan diri sangat bermanfaat bagi disiplin spiritualitas. Hasil penghematan itu dapat untuk derma. Uang rokok, pesta pora, hiburan, dapat diirit dan disumbangkan kepada orang miskin dan proyek-proyek kemanusiaan.
Bagi kebanyakan Gereja Protestan, praktek berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Yesus, tidak terkalu ditekankan, apalagi diberlakukan sebagai liturgi umat. Namun Gereja tidak melarang ibadah personal puasa ini, apabila dilakukan dengan suka rela. Memang pada kenyataannya, tidak sedikit orang Kristen yang melakukan puasa. Kaum Injili, Gereja-gereja Pantekostal, kelompok Kharismatik, secara terbuka mengizinkan dan menganjurkan umat-Nya berpuasa. Gereja Katolik menyusun aturan berpuasa yakni: satu kali makan kenyang dan dua kali makan sedikit saja dalam sehari. Hal ini mengarahkan orang untuk berhemat dan menahan diri dari hawa nafsu. Bahkan tidak sedikit Gereja-gereja oikumenikal yang mempermaklumkan umat-Nya berpuasa. Jadi berpuasa adalah ibadah personal yang lazim dilakukan oleh orang Kristen secara suka rela.
Selain sebagai disiplin penyadaran akan lemahnya diri, puasa memiliki hikmah sebagai sarana pengendalian diri dari keserakahan dan ketergantungan pada jasmani. Semuanya dilakukan dalam rangka melatih hidup keagamaan yang lebih baik. Pengendalian diri bertujuan agar Gereja (atau “yang berpuasa”) tidak lepas kendali. Gereja harus mampu menahan diri dari nafsu jasmani dan keinginan daging. Itulah sebabnya puasa – baik di kalangan Kristen maupun dalam Islam – selalu diikuti dengan derma atau zakat, yang olehnya ibadah puasa memperoleh bobotnya dan menjadi berkat. Puasa tanpa kontrol diri atau puasa yang diikuti dengan pesta pora, dan puasa tanpa derma, adalah puasa yang tidak menjadi berkat.

Daftar pustaka
da Cunha, Bosco, Merayakan Karya Penyelamatan: dalam Kerangka Tahun Liturgi., 1992, h 30.
Dix, Dom Gregory, The Shape of the Liturgy, 1945.
Heuken, Adolf, Puasa, Ensiklopedi Gereja IV. Yayasan Cipta Loka Caraka 1994, h 52-53.
Kraus, Hans-Joachim Kraus, Worship in Israel: a Cultic History of the Old Testament. Terj.: Geoffrey Buswell, 1966.
Myers, Allen C. (ed), The Eerdmans Bible Dictionary: Fasting, 1987, h 377.
OMF, Puasa, berpuasa, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II. 1995, h 280.
Petry, Ray C. (ed), A History of Christianity: Readings in the History of the Early and Medieval Church, 1962.
Pidada, Ida Ayu Utami, Makna Puasa dalam Praktek dan Tradisi, KOMPAS 260 tahun ke-31, Rabu, 20 Maret 1996, h 4-5.
Wakefield, Gordon S., The Westminster Dictionary of Christianity Spirituality, David Tripp: Fasting, 1983, h 147-148.

Rabu, Maret 26, 2008

SPIRITUALITAS DALAM KOMUNITAS

UPAYA BERASKESE BAGI PARA PENDETA DENGAN BELAJAR DARI SANTO BENEDIKTUS NURSIA


Oleh : Rasid Rachman


Pengantar
Santo Benediktus dari Nursia (± 480 – 543/7) yang hidup di Italia negeri empat musim itu dalam peraturannya: Peraturan Santo Benediktus (PSB), menyebutkan bahwa cara hidup berkomunitas atau biarawan kenobit (caenobion) adalah terkokoh dibandingkan dengan tiga cara yang lain, yaitu: eremit, gyrovagi, dan scarabit.[1] Jenis rahib yang hidup berkomunitas dalam satu rumah biara dinilai paling kokoh (fortissimum) karena rahib yang satu harus mengaitkan cara hidupnya dengan rahib yang lain. Oleh karena itu, para rahib hidup di bawah satu atap dan peraturan dengan seorang abas (pemimpin biara) sebagai pemimpin biara.[2] Abas adalah seorang gembala, guru spiritual, teladan spiritual, tuan, Dominus (domus = rumah tangga), dan biara adalah sebuah schola, yakni tempat pelatihan yang mengarahkan rahib ke masa penyelamatan yang akan datang melalui keseharian kehidupan askese.[3]
Hidup berspiritualitas dijalani dengan pelatihan dan disiplin diri melalui peraturan bersama dan satu kepemimpinan. Walaupun peraturan hidup membiara tidak selalu berbentuk peraturan tulisan sebagaimana dikenal kemudian dengan Regula.[4] Semuanya dilakukan di dalam komunitas rahib/rubiah yang disebut rumah biara.


I. Komunitas sebagai tempat beraskese
Bagi Santo Benediktus, rahib tidak dapat dilepaskan dari komunitasnya. Kehidupan komunitas (koinonia = persekutuan, saling memberikan) mengikat para rahib bersama-sama secara erat untuk saling membantu, sebagaimana karunia Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh para Rasul (Ibr 13:16; Kis 4:32) dan pemazmur (Mzm 133:1).[5]
Bagi rahib, rumah biara atau komunitas adalah schola. Schola adalah bukan kampus untuk studi ilmiah, tetapi lebih pada arena pembentukan pasukan elit (corps d’élite). Para rahib disiapkan untuk maksud itu. Abas adalah komandan tertinggi bagi sepasukan “prajurit”, yakni para rahibnya.[6] Agar tata kehidupan beraskese di biara berjalan lancar, maka ketaatan para rahib kepada Abas adalah mutlak.
Dalam pola kenobit, semua kegiatan rahib dilakukan untuk kehidupan bersama dan dengan senang hati. Dalam hal harta milik, komunitas juga mengatur dan membagi secara adil harta milik setiap rahib. Pakaian ibadah, pakaian kerja, dan persoalan, adalah milik komunitas biara. Rahib menggunakan peralatan dan busana milik biara sesuai pekerjaannya, dan mengembalikannya ke tempatnya semula setelah selesai menggunakannya. PSB 33:3 menuliskan bahwa rahib tak boleh memiliki barang milik pribadi sama sekali. Hal tak bermilik ini dijalani sebagai nilai kemiskinan mutlak, tak saling terikat pada materi, sehingga rahib bebas melayani Tuhan. Jadi kemiskinan bukan tujuan monastik, melainkan cara untuk meningkatkan spiritualitas ketaatan dan keintiman dengan Allah.[7]
Dalam komunitas kenobit ada pembagian tugas, baik untuk ibadah maupun kerja harian. Hal itu dilakukan guna menjaga kepentingan bersama. Tujuan kebersamaan itu adalah rahib taat mendekatkan diri dengan Tuhan secara terus menerus. Rahib tidak melulu menghabiskan seluruh waktunya untuk berdoa dan berhening. Sekalipun kebosanan karena rutinitas kerja adalah musuh yang harus dilawan, rahib wajib bekerja dan keluar dari pertapaannya guna menghindari kekacauan pikiran dengan kesia-siaan dan hal-hal yang fana.

II. Satu kepemimpinan
Perihal Abas dikemukakan dalam RB bab II qualis debeat abbas esse, dan LXIV de ordinanto abbate. Abas adalah kepala rumah tangga dan pemerintahan (Père et Roi = Bapa dan Raja) dalam biara,[8] terutama kenobit. Abas adalah wakil Kristus dalam biara (II:2 Christi enim vices), sebab sesuai dengan nama yang dikenakannya (II:3). Keberadaan Abas/Abdis dalam biara Benediktin adalah rukun syarat (keystone); wajib diadakan karena memang harus begitu berdasarkan adat.[9] Hal ini sekaligus menginformasikan konsep Abas dalam PSB, yakni sebagaimana Αββα dalam pemahaman budaya Aram (bahasa Koptik: apa), artinya bapak. Abas sebagai bapak tidak melulu menuntut anak-anaknya, tetapi juga mendidik mereka.[10]
Abas berwewenang kuat dan berotoritas dalam biara. Yang dimaksud adalah otoritas sebagaimana kepala rumah tangga Romawi kala itu, dalam pola hidup patria potestas (kuasa ayahanda sebagaimana kekristenan awal zaman Romawi).
Sekalipun Abas berdiri pada tempat Kristus dan mengatasi semua rahibnya,[11] kuasanya bukan tak terbatas seperti kekaisaran Romawi kemudian atau zaman Republik di zamannya, melainkan menurut firman Allah (II:5-6) dan regula monastik. Wewenang Abas adalah sebatas pengaturan dan pembagian tugas.[12] Tentang hal-hal lain yang tidak diatur oleh regula – situasi darurat atau kondisi setempat – Abas dapat mengambil kebijaksanaan setelah meminta pertimbangan saran beberapa rahibnya. Namun kebijaksaan Abas adalah mutlak. Rahib harus mematuhinya, bukan dengan takut, melainkan dengan hormat. Abas bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai dan disegani. [13]
Walaupun Abas berwenang dalam menerapkan hukum, sanksi, dan keputusan, baik secara umum maupun khusus, namun wewenangnya lebih berupa penggembalaan ketimbang penguasaan. Dalam menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga, Abas membenci kejahatan tapi mengasihi para rahibnya.[14]
Abas bukan tanpa pemimpin, sebab ia adalah gembala (II:7 pastoris) yang diawasi oleh kepala rumah tangga (pater familias). Peran Abas menurut Benediktus berbeda dengan peran Kaisar dalam pemerintahan Romawi di zamannya dan tentu saja berbeda pula dengan Gereja di wilayah Italia kala itu. Hingga saat ini, sekalipun ada jabatan Abas dan para rahib, hierarki jabatan dan tata liturgi dalam biara tidak sekentara hierarki dalam Gereja. Kolegialitas para rahib/rubiah dipentingkan dalam pengambilan keputusan bersama. Hal ini tercermin pula melalui tata busana yang dikenakan secara seragam oleh Abas/Abdis dan rahib/rubiah lain, baik dalam kegiatan harian maupun untuk ibadah.[15] Demikian moto primus inter pares kadang-kadang lebih terasa di biara.
Sikap para rahib terhadap Abas adalah harus menaatinya dengan mutlak dan senang hati. Ketaatan rahib kepada Abas merupakan cermin ketaatan manusia kepada Allah dalam hal kembali kepada-Nya.[16] Para rahib harus memandang kehendak Abas mereka sebagai kehendak Allah. Hal tersebut dijalankan sebagai pelengkap hidup monastik.[17]
Sekalipun demikian, Abas bukan seorang penguasa tunggal dalam biara. Sebagai sikap timbal balik antara rahib dan Abas, Abas tidak diperkenankan mengeksploitasi para rahibnya. Sebab bagaimana pun, Abas menjadi eksis oleh karena ada para rahib. Oleh karena itu, perintah Abas dan ketaatan para rahibnya, dilakukan di dalam nama Tuhan, bukan kesewenang-wenangan atau rasa tertindas. Abas memerintah dalam rangka menerapkan Firman Tuhan dan regula biara.[18] Selanjutnya, Abas/Abdis taat kepada Tuhan.

III. Alat-alat beraskese berdasarkan PSB
Beraskese dalam hidup monastik menggunakan beberapa sarana, antara lain: makan dan puasa, beribadah harian, kerja dan studi.
III.1. Makan dipahami bukan sekadar pengisi kebutuhan perut manusia dan puasa sebagai melulu bentuk kesalehan. Lebih daripada itu, makan dan puasa ditempatkan sebagai bagian dari disiplin spiritualitas. Puasa menjadi latihan untuk menahan diri. Puasa bukan tujuan, melainkan sarana esensial mencapai pendisiplinan diri. Dengan demikian, askese mendapatkan bobotnya di dalam hidup monastik melalui berpuasa dan menahan diri.
Selanjutnya selain soal jatah makan dan minum, PSB mengatur soal jatah makan dan jatah minum, masa berpuasa, dan tugas membaca di ruang makan. Pokoknya, makan dan puasa bukan tujuan atau target hidup, melainkan bagian perziarahan manusia dalam membentuk spiritualitas. Oleh karena itu, rahib wajib menyukai berpuasa dan berpantang.[19] Puasa dan berpantang ini dapat pula dilatih dengan menahan diri dari menerima segala kemudahan.
III.2. Ibadah harian merupakan kegiatan penting bagi rahib. PSB menuliskannya sebagai opus Dei (karya Allah). Waktu-waktu ibadah harian dijalankan secara teratur dan tepat waktu. Ibadah-ibadah harian itu dijalankan pada malam dan sepanjang siang, dengan segenap jiwa dan tubuh mereka: suara, tata gerak, dan sikap berdoa yang takzim.
Jumlah tujuh kali berdoa sendiri mencerminkan praktek doa tak henti setiap saat (berdasarkan 1Tes 5:17 “tetaplah berdoa”). Penentuan jumlah sakral ini, bukan pada menjalankan “perintah” Alkitab, melainkan terlebih pada tradisi tokoh-tokoh Alkitab dan Patristik.[20] Penentuan jumlah dan waktu berdoa dalam sehari merupakan pengaturan askese agar tak terjadi raison d’être (cari-cari alasan) untuk melarikan diri dari tugas-tugas manusiawi seumumnya. Seorang rahib harus memiliki sikap dan praktek fervens monastik awal.[21] Oleh sebab itu, Benediktus menyusun regula ofisi secara lengkap, baik menyangkut waktu, daftar bacaan, tata liturgi, maupun musim. Pengaturan tersebut bertujuan agar rahib tidak berdoa selagi waktu bekerja secara campur aduk dan sekaligus, vice versa. RB memisahkan dengan tegas antara waktu untuk opus Dei dan sisa waktu hari itu untuk bekerja dan lectio Divina.[22]
III.3. Kerja dan studi dalam kehidupan komunitas tidak diabaikan. Ada kisah yang mirip kisah Antonius dengan kakaknya, begini: rahib Zakaria menghampiri Abas Silvanus dari Gunung Sinai yang sedang memperhatikan para rahib bekerja, dan berkata: “Jangan bekerja untuk mencari nafkah yang semu! Maria telah memilih bagian yang terbaik.” Lalu Silvanus berkata kepada para rahib: “Bawalah Zakaria dan tuntunlah ke dalam pondok pertapaan.” Pada sekitar pukul 15.00, Zakaria duduk di depan pintu ruang makan para rahib dan menantikan seseorang memanggilnya untuk makan. Tetapi tak seorang pun memanggilnya. Zakaria berdiri dan menghampiri Silvanus: “Abas, apakah para rahib tidak makan hari ini?” Abas menjawab: “Mereka makan.” Zakaria berkata: “Lho, mengapa Abas tidak memanggil saya untuk ikut makan?” Silvanus menjawab: “Engkau adalah seorang rohaniah (πνευματικός) dan tidak perlu makan. Tetapi kami adalah manusia jasmaniah, sebab itu kami perlu makan dan itulah sebabnya kami bekerja dengan tangan kami. Engkau telah memilih bagian yang terbaik, menghabiskan seluruh waktumu untuk membaca dan tidak ingin mengambil makanan jasmani.” Lalu Zakaria berlutut di hadapan Silvanus dan berkata: “Ampunilah saya, Abas!” Silvanus berkata: “Saya pikir Maria sangat tergantung pada Marta. Oleh karena Marta, Maria mendapat kemuliaan .…”[23]
Dalam RB XLVIII:1 kerja dipahami memiliki dua dimensi, yakni kerja tangan (opus manuum) dan kerja intelektual melalui studi (lectio divina = bacaan Ilahi). Keduanya dipahami sebagai kerja tangan harian (opera manuum cotidiana). Keduanya ditempatkan dalam kesatuan dengan ibadah harian, namun dilakukan secara bergantian satu persatu. Benediktus tidak ingin rahibnya melulu berdoa tanpa bekerja, atau melulu bekerja tanpa berdoa. Dalam sehari, rahib mengatur waktunya rata-rata 3½ - 4 jam untuk ibadah harian, 3½ - 4 jam untuk membaca atau studi, dan 6 - 8 jam untuk bekerja manual.[24] Sisanya adalah waktu tidur. Kerja manual dan kerja intelektual, adalah utama dalam hidup monastik, namun keduanya harus dijalani dengan serasi dan seimbang dengan hal-hal lain.
Sebagaimana bekerja, tugas belajar dilakukan untuk melawan kemalasan yang merupakan musuh jiwa. Belajar pun merupakan tugas esensial dan hak seorang asket. Belajar adalah metode atau disiplin untuk menumbuhkan kematangan jiwa. Jiwa yang matang mendambakan kebenaran sejati yang oleh karenanya merupakan fundamen kehidupan doa dan kontemplasi.[25]
Kerja manual dan belajar berhubungan dengan kegiatan pelatihan spiritualitas demi pengembalian jiwa manusia kepada intinya. Rahib/rubiah Benediktin tidak meremehkan disiplin spiritualitas personal di biara dalam rangka berhubungan intim dengan Allah (Ul 33:12; Mat 6:6). Salah satu metode disiplin spiritualitas itu berupa kegiatan intelektual (2Kor 3:18), yakni mempelajari Alkitab atau meditasi (PSB XLVIII:23 belajar atau membaca untuk menerjemahkan meditare aut legere), di samping ibadah.[26] Terutama membaca Alkitab melalui lectio Divina, dipahami bahwa Allah hadir di dalam rahib membaca Alkitab sebagaimana Ia hadir di dalam perayaan perjamuan kudus.[27] Kehadiran-Nya dalam bentuk karya nyata dalam sejarah Israel secara khusus dan dunia seumumnya. Tujuannya adalah supaya manusia lebih mendalami misteri Allah. Motivasi pertobatan setiap hari itu akan semakin nyata dengan terus menerus menyelami misteri Ilahi melalui penelitian Alkitab, naskah Patristik, dan liturgi.[28] Selama berabad-abad, kaum asket sejak monastik awal di gurun pasir dikenal karena kegiatannya yang sangat besar dalam membaca dan mempelajari Alkitab siang dan malam.[29] Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi kegiatan tulis menulis yang menghasilkan banyak karya sebagaimana dilakukan oleh Cassiodorus beberapa saat kemudian.




IV. Aplikasinya untuk kita
GKI bukan biara, namun GKI juga melirik innerweltliche askese atau berasake di dalam dunia (bukan dalam biara). Oleh karena itu, tak ada salahnya kita menarik beberapa nilai spiritualitas monastik bagi hidup bergereja. Saya akan paparkan dua hal yang kiranya dapat kesejajarannya (namun tidak sebanding), yaitu komunitas dan satu pimpinan.
Komunitas atau rumah biara laksana GKI bagi kita. Ada konven dan beberapa kegiatan klasikal dan sinodal yang merupakan sarana berkomunitas. Sarana-sarana yang ada bukan hanya mempererat komunitas, tetapi juga memberi nilai akan artinya kebersamaan. Di dalam komunitas yang sehat terdapat pertumbuhan. Pengerja yang lemah tidak dikucilkan sehingga merasa minder di antara yang lain. Pengerja yang lebih tidak merasa sombong hanya karena sering berbagi, karena masih ada pengerja lain yang lebih “hebat” daripadanya.
Di dalam komunitas GKI, terdapat Tager dan Tatib yang mengatur kehidupan bersama kita sebagaimana biara memiliki Peraturan Biara. Semua pengerja berjalan menurut aturannya, sehingga tidak ada yang merasa didiskriminasikan atau dimiskinkan, sementara yang lain diistimewakan. Dalam komunitas, yang diistimewakan akan merasa malu hati karena memakai yang bukan haknya.
Komunitas bukan hanya mengatur kita berjalan bersama, tetapi juga mengarahkan tujuan bersama. Dalam disiplin spiritualitas monastik, target jarang ditekankan, melainkan proses dan tujuan. Kehidupan dihayati sebagai perziarahan, sehingga “setiap momen” memiliki arti tersendiri.
Hal yang berbeda adalah keluarga. Para rahib hidup tanpa keluarga biologis; hanya keluarga komunitas. Sementara kita hidup dengan dan dalam keluarga. Namun bukan berarti kesetiakawanan dengan rekan beralasan untuk diabaikan. Pertumbuhan spiritual Pendeta juga merupakan dan diperoleh dari pertumbuhan rekan-rekannya. ƒ




Catatan-catatan
[1] Untuk Jenis dan cirri-cirinya, saya telah uraikan dalam Rasid Rachman, Kehidupan dan Spiritualitas Biara, Persetia 2002
[2] PSB 1:2-10, 12.
[3] Timothy Fry (ed), The Rule of St. Benedict, h 92.
[4] Ibid, h 168-169.
[5] George Holzherr (ed), The Rule of Benendict: a Guide to Christian Living, h 44.
[6] Lawrence, h 28.
[7] Bnd David Dom Knowles, The Benedictines: a Digest for Moderns, h 15-16; Fernando U Escobar, Struttura e Specifità della Vita Religiosa: seconda la regola di S. Benedetto e gli opuscoli di S. Francesco D’Assisi, h 58-59; dan Claude Dagens, Saint Benoît et l’Orientation du Mouvement Monastique, h 164-165.
[8] Marie de Miserey, Saint Benoît, h 53.
[9] Knowles, h 17 dan mengacu pada W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1986 untuk entri rukun syarat.
[10] Fry, h 325.
[11] Knowles, h 17.
[12] McCann, h 133-134.
[13] Lawrence, h 26-27.
[14] Miserey, h h 53-54.
[15] Miserey, h 56 menuliskan ada tiga jenis busana biara Benediktus, yaitu: jubah musim dingin, jubah musim panas, dan pakaian kerja. Ini dapat dibandingkan dengan beberapa biara di Indonesia, yaitu: jubah harian (tanpa pembedaan musim), jubah ibadah, dan pakaian kerja.
[16] Olsen, h 38-39.
[17] Knowles, h 18.
[18] Knowles, h 18-19.
[19] Fry, h 240-241 dan Vogüé, h 229 melihat RM III:13 = RB IV:13 (ieiunium amare).
[20] Vogüé, h 127-128, dan 163 mengingatkan RM 42:3-4 tentang tujuh karunia Roh Kudus (propter septiformem Spiritum) berhubungan dengan pembacaan Mazmur tujuh kali sehari. RB XVI:2 menuliskan tujuh kali, yaitu: matutino, primae, tertiae, sextae, nonae, vesperae, dan complerorii. Ada kerancuan. Tentang vigili pukul 03.00 tidak disebutkan. Matutino dan primae disebutkan dua kali, padahal itu merupakan satu ibadah pagi.
[21] Vogüé, h 129-130.
[22] Ibid., h 136-137 dan 165 membandingkan antara RM 50:20 yang memisahkan doa dan kerja, “antequam incoent laborare, orent, et postquam reexplicaverint, reorent” (Italia) dan tradisi gurun pasir awal (Mesir) di mana rahib tetap bekerja sementara mendaraskan Mazmur dan mendengarkan Alkitab.
[23] Holzherr, h 230.
[24] Décarreaux, h 226.
[25] Escobar, h 64. Vogüé, h 135 menuliskan bahwa umumnya kerja intelektual ini dilakukan selama dua atau tiga jam sehari.
[26] Sebastianus, h 36 mencatat bahwa Hieronymus (± 340) tanpa sumber, rahib yang gemar membaca dan penerjemah Alkitab Vulgata, pernah berkata kepada Eustathius (± 300 – ± 377): “Kalau engkau berdoa, engkau berbicara kepada Pengantinmu, kalau engkau membaca, ia berbicara kepadamu.” Lengkapi informasi Hieronymus pada Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Penerjemah: Conny Item-Corputy. BPK Gunung Mulia 1990, h 37-39. Cyprianus (± 200 - 258) berkata: “Baktikanlah dirimu dengan giat kepada doa dan kepada bacaan, berbicaralah dengan Allah atau Allah berbicara kepadamu.”
[27] Leloir, h 33.
[28] Delatte, h 349-350.
[29] Ibid., h 350.

Senin, Maret 24, 2008

SPIRITUALITAS

SEBUAH DISIPLIN HIDUP


Oleh : Rasid Rachman


Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “spiritualitas”. Kata spiritualitas bukan hanya digunakan dalam gereja, tetapi juga di dunia sesehari (semisal Spirituality Quotient) yang posisinya disejajarkan dengan IQ dan EQ. Spiritualitas berasal dari bahasa Latin: spiritus (n), artinya menghembuskan, tiupan, aliran udara, nafas, ilham, roh, jiwa, sukma, dan hati. Pengertian tersebut berhubungan dengan kedirian dan kesadaran manusia. Spiritus juga berarti sikap, perasaan, kesadaran diri. Pengertian ini berhubungan dengan pelatihan atau disiplin hidup. Spiritus dapat juga berarti kesombongan, keinginan untuk memegahkan diri, gila hormat, murka, dan kemarahan; arti ini masih berhubungan dengan keadaan diri manusia secara manusiawi. Kata keterangan spiritalis, artinya rohani, batin, hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan, maknawi. Kata kerja spiro berarti berembus, bertiup, membantu, memajukan (memberi spirit), memancarkan, memberi semangat. Pengertian tersebut berhubungan dengan hal mengerjakan sesuatu, baik bagi diri sendiri maupun terutama bagi orang lain.
Jika umat manusia digolongkan menurut jalan hidupnya, maka kaum spiritualis adalah salah satunya, masih termasuk kategori mistik. Golongan-golongan yang lain yakni kaum humanis dan kaum agamanis. Kaum agamanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan dogma agama dan peribadahan lembaga agama, agama komunal, atau agama masyarakat. Kaum humanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan ilmu-ilmu pengetahuan, filsafat, dan hidup bermasyarakat. Kaum spiritualis mengekspresikan dirinya melalui jalan askese. Yang jelas berbeda dari golongan-golongan tersebut adalah cara pelatihan atau disiplin hidup yang dilakukannya, sedangkan “jadinya” kira-kira sama, yakni menjadi manusia sempurna secara manusiawi. Seorang spiritualis menunjukan sikap spiritualitasnya, seorang humanis menunjukkan kemanusiaannya, dan seorang agamanis menunjukkan sikap beragamanya demi kepentingan dunia, manusia, dan tata masyarakat yang mensejarah.
Dewasa ini, menurut hemat saya, ada manusia yang murni konsisten berada pada salah satu saja penggolongan tersebut, namun rupanya lebih banyak yang tidak murni konsisten berada pada salah satu penggolongan tersebut. Seorang humanis ada yang juga agamanis atau spiritualis, vice versa. Walaupun setiap kaum dari masing-masing golongan bisa saling belajar dari golongan lain, namun setiap golongan tersebut “mempunyai dunia sendiri” yang dijalankan sepanjang hidupnya. Dunia setiap golongan tersebut tidak terlepas dari disiplin ilmu, sejarah, dan tradisinya masing-masing. Kaum humanis mengembangkan tradisinya dari sekolah, kaum agamanis dari rumah ibadahnya masing-masing, sedangkan kaum spiritualis dari biara atau rumah pertapaan.

Berspiritualitas adalah berdiri sendiri.

Sejarah ringkas spiritualitas
Gerakan spiritualitas sudah berlangsung lama sekali dalam sejarah sejak ratusan tahun sebelum Masehi. Sejarah mencatat Sang Budha Gautama pada sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Di Israel ada tradisi gurun pasir semisal Qumran dan Therapeutik. Gerakan spiritualitas juga bersifat universal dalam hampir setiap kebudayaan masyarakat, baik timur maupun barat (mis. keberadaan tokoh spiritual di setiap suku dan masyarakat). Demikian pula gerakan spiritualitas dalam kekristenan.
Pada mulanya, lahirnya gerakan spiritualitas dalam kekristenan dimulai oleh kalangan awam secara individual, biasanya orang muda. Mereka ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada keduniawian, lembaga gereja, gelar kebangsawanan, dan hidup bermasyarakat. Sebagai gantinya, mereka hidup menyendiri (monachoi) dan menjalankan tapa brata, bermeditasi, atau hidup askese (pertarakan). Hidup tak bermasyarakat merupakan nafas seorang rahib. “Rahib justru tak dapat hidup jika keluar dari sel dan bermasyarakat,” kata Antonius, salah seorang pelopor gerakan spiritualitas di Mesir. “Kesunyian adalah pembebasan kaum asket,” kata Arsenius. Hidup menyendiri ini merupakan sikap kemandirian dan ketidak-tergantungan. Orang yang menjalankan disiplin melatih diri untuk “tidak meminta-minta” atau mengemis. Pembebasan dari gelar kebangsawanan merupakan upaya para rahib untuk bukan hanya menolak keduniawian, tetapi juga pada jabatan dan mengejar gelar. Selain itu, para rahib/rubiah tidak terikat pada hidup perkawinan, melainkan pada selibat. Selain betul-betul sendirian, juga dimungkinkan para asket membuat perkumpulan. Ada perkumpulan asket atau biara pria, ada pula biara perempuan; disebut kenobit. Para rahib/rubiah tidak mengikat diri pada materi-materi duniawi, semisal: jabatan, gelar, harta, lembaga perkawinan, melainkan menerapkan pola hidup miskin dan selibat. Pola hidup miskin kemudian berkembang menjadi pola hidup sederhana dan tidak selalu enak.
Suatu tempat untuk menyendiri bagi kaum spiritualis pada sekitar abad ke-3 adalah padang pasir Mesir. Dipilihnya padang pasir di Mesir tak terlepas dari masalah penganiayaan terhadap orang Kristen oleh pemerintahan Romawi. Selama penganiayaan dan pembunuhan zaman Kaisar Decius (249–251), banyak orang Kristen melarikan diri ke padang pasir untuk melepaskan penderitaannya. Penganiayaan terhadap orang Kristen memuncak hingga zaman Kaisar Diocletian (245-313) yang menguasai wilayah timur Romawi dan Kaisar Maximian yang menguasai wilayah barat. Hingga kini padang pasir Mesir dianggap induk, pelopor, dan pola membiara awal dari segala spiritualitas Kristen, baik timur maupun barat, oleh berbagai kalangan ahli monastik. Di gurun pasir itulah kemudian lahir dan berkembang pusat-pusat monastik awal. Pusat-pusat monastik awal itu terletak di luar kota dan di desa-desa sepanjang Sungai Nil, biasanya tidak jauh dari oasis atau mata air ke arah Laut Merah. Ada juga yang berlokasi di dataran tinggi, perbukitan, atau di dalam gua. Tempat-tempat itu berada di sekitar quba (bahasa Syria artinya sumber air atau sumur tua).
Dari Mesir, pancaran disiplin spiritualitas merambah ke wilayah barat, yakni Italia. Benediktus yang lahir dari keluarga bangsawan di Nursia-Italia, menempuh jalan askese anakhoret di Enfide. Pada mulanya, ia banyak meniru cara monastik padang pasir. Namun karena panggilan spiritualitasnya, kemudian ia mendirikan biara kenobit di Subiaco dan Monte Cassino. Jika di Mesir para rahib memusatkan pada pola hidup bertapa seorang diri (eremit atau anakhoret), maka menurut Benediktus kehidupan bersama (kenobit) dipandang sebagai pola yang ideal.
Setelah Benediktus mangkat, biara Benediktin tidak mampu bertahan terhadap beberapa kali serangan dan kehancuran rumah biara di Monte Cassino. Para rahib bersama tradisi Benediktin menyebar ke Irlandia dan kemudian ke Perancis. Di dua wilayah tersebut Benediktin berkembang, bahkan hingga kini masih dapat dijumpai (bekas) pusat biara. Terutama Perancis, kemudian menjadi pusat lahirnya biara-biara, yang berarti terpeliharanya kehidupan spiritualitas. Perkembangan Benediktin ke seantero Eropa terutama bukan disebabkan oleh para rahibnya, tetapi pada pengaruh Regula Santo Benediktus (RB) atau Peraturan Santo Benediktus (PSB). RB rupanya menarik perhatian baik para rahib maupun penguasa di Eropa waktu itu. Banyak biara Eropa yang kemudian mengganti regula lama mereka dengan RB. Karena hal inilah kemudian Benediktus dinobatkan oleh Takhta Suci Vatican sebagai Bapa Eropa.
Hingga sekitar pertengahan Abad-abad Pertengahan, mulai terbentuk akan-akar dua tradisi kehidupan monastik, yaitu: 1) kerasulan aktif, dan 2) kontemplatif atau observansi ketat. Namun kedua tradisi tersebut baru jelas terlihat setelah munculnya biara Cluny-Perancis pada tahun 909 yang sangat aktif. Cluny tidak bertahan lama, sebab kemudian muncul gerakan spiritualitas baru, yaitu dengan lahirnya biara Cîteaux dan la Grande Chartreux pada sekitar abad ke-11 dan ke-12. Keduanya menerapkan kembali disiplin spiritualitas kontemplatif dan pertapaan. Para rahib tinggal di selnya masing-masing dalam sebuah rumah biara. Dari Chartreux kemudian muncul tradisi Kartusian, dan Cîteaux melahirkan Cistersiensis (Rawaseneng-Temanggung dan Gedono-Salatiga).

Disiplin spiritualitas
Agak berbeda dengan teologi sebagai ilmu, spiritualitas adalah sebuah disiplin hidup atau pelatihan untuk mencapai kesempurnaan manusiawi, bukan tujuan. Pelatihan spiritualitas berjalan seumur hidup, sehingga kemudian menjadi nilai. Oleh karena sebuah disiplin, maka spiritualitas terlihat sebagai pola hidup seseorang atau komunitas dalam rangka menyempurnakan kemanusiaannya, yaitu: mandiri, pengendalian diri, bersahaja dan sederhana, sadar diri, dan berketuhanan.
Sejarah monastik memunculkan dua tradisi membiara, yaitu aktif dan kontemplatif. Biara aktif melakukan karya kerasulan di dunia kesehatan, pendidikan, pengasuhan, atau rumah retret. Pendirian rumah sakit, pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi, dan panti-panti asuhan, merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan dalam pola spiritualitas aktif. Termasuk di dalam biara ini adalah Misionaris Cinta Kasih di Kolkata-India. Biara kontemplatif, tak kurang pula perannya. Selain memproduksi hasil tangan dan home industry, biara kontemplatif juga menyediakan sarana retret atau rekoleksi bagi setiap orang yang memerlukan waktu berhening beberapa saat. Dari informasi tersebut, yang perlu kita ketahui bahwa berdisiplin spiritualitas bukan berdiam diri dengan melulu berdoa, melainkan bekerja melakukan sesuatu bagi dunia karena dorongan kemanusiaan.
Doa dan kerja. Kehidupan askese tidak melulu diisi dengan berdoa dan bermeditasi. Sejak Antonius di padang pasir, kehidupan doa dan kerja telah dijalankan oleh rahib. Para rahib berdoa agar selalu berhubungan dengan Allah. Para rahib bekerja agar memuliakan Allah. Dengan bekerja, rahib tidak menjadi pengemis sehingga berdosa, atau menjadi beban bagi orang lain untuk mencukupi kehidupannya. Bahkan Pachomius, sezaman dengan Antonius, mengembangkan kehidupan kerja menjadi pebisnis berjualan hasil karya tangannya ke luar wilayahnya di Mesir Hulu. Namun kerja dilakukan tanpa ngoyo. Rahib tidak bekerja untuk mengejar keuntungan (godaan bagi biara aktif), juga tidak melulu berdoa sebagai alasan agar tidak usah bekerja (godaan bagi biara kontemplatif).
Puasa dan derma. Puasa dijalankan dalam kehidupan askese agar asket selalu eling akan kemanusiaannya. Selain itu, puasa menyadarkan manusia akan artinya kenyang dan makan karena pernah lapar. Oleh karena itu, berpuasa selalu diikuti oleh derma (bnd Islam: puasa dan zakat fitrah). Sebab dari kelebihan karena tidak makan, seseorang dapat memberikannya kepada yang lapar. Dengan demikian, disiplin spiritualitas membangkitkan juga kepekaan sosial seseorang “tanpa pandang bulu” dan berpola hidup sederhana.
Belajar. Baru di zaman Benediktus abad ke-6, kaum asket menggunakan sebagian waktunya untuk membaca buku selain Alkitab dan mempelajari tradisi. Sejarah mencatat munculnya banyak penulis dan peneliti dari kaum biarawan. Hingga kini, biara-biara memiliki perpustakaan dan buku-buku yang sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang teologi dan spiritualitas. Dengan demikian kita melihat bahwa disiplin spiritualitas tidak dapat dilepaskan dari proses pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Apalagi di zaman sekarang, banyak rahib/rubiah yang terpelajar dan berpendidikan tinggi.
Keramahan dalam menolong. Beberapa biara memiliki ruang tamu, yang disebut hospitas. Pada sekitar Abad-abad Pertengahan, banyak orang sakit dibawa ke biara, dan para rubiah menolongnya di ruang tamu tersebut. Pertolongan ini kemudian menjadi semakin mandiri dengan didirikannya rumah-rumah sakit (hospital) untuk merawat orang sakit di luar rumah biara.
Kesetiaan pada regula biara. Hal ini dilakukan agar kehidupan kerahiban dan monastik tidak menjadi bias karena zaman. Kesetiaan pada regula merupakan arah bagi rahib untuk menjalankan panggilan spiritualitasnya agar tetap pada jalur panggilan semula (konsistensi), yaitu: kemiskinan, keperawanan, doa, dan bekerja. Hal ini dapat dibandingkan dengan core business gereja.

Spiritualitas dalam Gereja (bnd die Innerweltliche askese)
Gereja dapat mengambil refleksi kehidupan spiritualitas kaum spiritualis tanpa menjadi rahib dan menjalani kehidupan di biara. Beberapa percikan spiritualitas biara terpancar pula dalam kehidupan gereja seumumnya. Atau, gereja dapat belajar dan menerapkan beberapa pancaran spiritualitas askese dalam hidupnya.
Salah satu contoh adalah berjualan makanan atau karya tangan untuk melakukan suatu kegiatan. Biara kontemplatif memenuhi kehidupannya dengan menjual hasil kerja tangannya sendiri. Berjualan makanan untuk kegiatan bermanfaat, misalnya, jauh lebih baik ketimbang melulu minta-minta sumbangan untuk merayakan Natal. Memang beberapa pihak justru tidak setuju dengan usaha berjualan di gereja. Biasanya yang menjadi acuan adalah Lukas 19:45-46 “Yesus mengobrak-abrik barang dagangan di Bait Allah”, namun menutupi nas 2Tesalonika 3 “kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan”. Pada pihak lain kita juga dapat melihat bahwa berjualan adalah salah satu pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, membuat seseorang mandiri dan tetap bekerja, bersaing sehat, dan jauh dari korupsi.
Yang saat ini juga relevan adalah pola hidup sederhana. Dulunya, GKI adalah gereja sederhana. Areal bangunan GKI tergolong sempit dan tidak megah, sebab GKI memang berasal dari gereja yang “tidak ada apa-apa”. Dibanding dengan gereja lain di sekitar GKI, semisal GKP, GPIB, dan RK, GKI bukan gereja warisan atau dukungan gereja Eropa dengan lahan yang luas. Namun di tahun 1980-an dan seterusnya, GKI menjadi gereja yang secara ekonomi mapan. Beberapa Jemaat memperluas kavling rumah ibadahnya, membeli beberapa mobil, bahkan sekarang sedang trend memasang pengejuk ruang (AC). Berkatnya memang baik, namun akibatnya pun perlu diwaspadai supaya kita tidak lupa diri. Memang saya tidak mencap semua yang melakukan itu adalah salah, namun saya mengajak kita semua untuk melihat alasan pengadaan semua hal tersebut. Apakah memang kebutuhan, atau karena kemanjaan? Kebutuhan memang merupakan alasan tepat untuk dipenuhi, tetapi kemanjaan hanya menciptakan sikap beriman yang tumpul dan terlena karena terbiasa selalu hidup enak-kepenak. Disiplin spiritualitas selalu memberikan “ruang” agar hidup tidak selalu serba enak dan mudah, dengan melatih diri hidup sederhana yakni hidup secukupnya.
Ora et labora merupakan disiplin spiritualitas yang baik dilakukan oleh gereja. Augustinus abad ke-5 mengatakan “vere novit recte vivere, qui recte novit orare”, artinya orang yang hidup benar adalah orang yang menjalankan doa dengan benar. Orang yang hidup benar adalah orang yang tahu menjadi manusia. Di biara-biara, para rahib tidak melulu berdoa tujuh kali sehari, tetapi juga bekerja dengan giat. Lagipula, seseorang yang bekerja tidak akan menghabiskan waktunya dengan ngobrol-ngobrol. Kerja dapat digolongkan menjadi kerja tangan (=manual) dan kerja intelektual (=belajar). Kerja ditempatkan secara sejajar dengan doa; sama-sama pentingnya. Kurangnya kehidupan doa (hanya seminggu sekali dalam persekutuan doa pagi/sore), dapat menyebabkan kita juga tidak memandang penting bekerja mandiri atau menghormati orang yang bekerja dengan tangannya. Banyak kalangan yang merasa “tak pantas” melakukan bongkar-pasang kursi di gereja, atau membagi-bagikan nasi bungkus kepada korban banjir, atau menyapu halaman gereja dan menyikat toilet.