Rabu, Maret 26, 2008

SPIRITUALITAS DALAM KOMUNITAS

UPAYA BERASKESE BAGI PARA PENDETA DENGAN BELAJAR DARI SANTO BENEDIKTUS NURSIA


Oleh : Rasid Rachman


Pengantar
Santo Benediktus dari Nursia (± 480 – 543/7) yang hidup di Italia negeri empat musim itu dalam peraturannya: Peraturan Santo Benediktus (PSB), menyebutkan bahwa cara hidup berkomunitas atau biarawan kenobit (caenobion) adalah terkokoh dibandingkan dengan tiga cara yang lain, yaitu: eremit, gyrovagi, dan scarabit.[1] Jenis rahib yang hidup berkomunitas dalam satu rumah biara dinilai paling kokoh (fortissimum) karena rahib yang satu harus mengaitkan cara hidupnya dengan rahib yang lain. Oleh karena itu, para rahib hidup di bawah satu atap dan peraturan dengan seorang abas (pemimpin biara) sebagai pemimpin biara.[2] Abas adalah seorang gembala, guru spiritual, teladan spiritual, tuan, Dominus (domus = rumah tangga), dan biara adalah sebuah schola, yakni tempat pelatihan yang mengarahkan rahib ke masa penyelamatan yang akan datang melalui keseharian kehidupan askese.[3]
Hidup berspiritualitas dijalani dengan pelatihan dan disiplin diri melalui peraturan bersama dan satu kepemimpinan. Walaupun peraturan hidup membiara tidak selalu berbentuk peraturan tulisan sebagaimana dikenal kemudian dengan Regula.[4] Semuanya dilakukan di dalam komunitas rahib/rubiah yang disebut rumah biara.


I. Komunitas sebagai tempat beraskese
Bagi Santo Benediktus, rahib tidak dapat dilepaskan dari komunitasnya. Kehidupan komunitas (koinonia = persekutuan, saling memberikan) mengikat para rahib bersama-sama secara erat untuk saling membantu, sebagaimana karunia Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh para Rasul (Ibr 13:16; Kis 4:32) dan pemazmur (Mzm 133:1).[5]
Bagi rahib, rumah biara atau komunitas adalah schola. Schola adalah bukan kampus untuk studi ilmiah, tetapi lebih pada arena pembentukan pasukan elit (corps d’élite). Para rahib disiapkan untuk maksud itu. Abas adalah komandan tertinggi bagi sepasukan “prajurit”, yakni para rahibnya.[6] Agar tata kehidupan beraskese di biara berjalan lancar, maka ketaatan para rahib kepada Abas adalah mutlak.
Dalam pola kenobit, semua kegiatan rahib dilakukan untuk kehidupan bersama dan dengan senang hati. Dalam hal harta milik, komunitas juga mengatur dan membagi secara adil harta milik setiap rahib. Pakaian ibadah, pakaian kerja, dan persoalan, adalah milik komunitas biara. Rahib menggunakan peralatan dan busana milik biara sesuai pekerjaannya, dan mengembalikannya ke tempatnya semula setelah selesai menggunakannya. PSB 33:3 menuliskan bahwa rahib tak boleh memiliki barang milik pribadi sama sekali. Hal tak bermilik ini dijalani sebagai nilai kemiskinan mutlak, tak saling terikat pada materi, sehingga rahib bebas melayani Tuhan. Jadi kemiskinan bukan tujuan monastik, melainkan cara untuk meningkatkan spiritualitas ketaatan dan keintiman dengan Allah.[7]
Dalam komunitas kenobit ada pembagian tugas, baik untuk ibadah maupun kerja harian. Hal itu dilakukan guna menjaga kepentingan bersama. Tujuan kebersamaan itu adalah rahib taat mendekatkan diri dengan Tuhan secara terus menerus. Rahib tidak melulu menghabiskan seluruh waktunya untuk berdoa dan berhening. Sekalipun kebosanan karena rutinitas kerja adalah musuh yang harus dilawan, rahib wajib bekerja dan keluar dari pertapaannya guna menghindari kekacauan pikiran dengan kesia-siaan dan hal-hal yang fana.

II. Satu kepemimpinan
Perihal Abas dikemukakan dalam RB bab II qualis debeat abbas esse, dan LXIV de ordinanto abbate. Abas adalah kepala rumah tangga dan pemerintahan (Père et Roi = Bapa dan Raja) dalam biara,[8] terutama kenobit. Abas adalah wakil Kristus dalam biara (II:2 Christi enim vices), sebab sesuai dengan nama yang dikenakannya (II:3). Keberadaan Abas/Abdis dalam biara Benediktin adalah rukun syarat (keystone); wajib diadakan karena memang harus begitu berdasarkan adat.[9] Hal ini sekaligus menginformasikan konsep Abas dalam PSB, yakni sebagaimana Αββα dalam pemahaman budaya Aram (bahasa Koptik: apa), artinya bapak. Abas sebagai bapak tidak melulu menuntut anak-anaknya, tetapi juga mendidik mereka.[10]
Abas berwewenang kuat dan berotoritas dalam biara. Yang dimaksud adalah otoritas sebagaimana kepala rumah tangga Romawi kala itu, dalam pola hidup patria potestas (kuasa ayahanda sebagaimana kekristenan awal zaman Romawi).
Sekalipun Abas berdiri pada tempat Kristus dan mengatasi semua rahibnya,[11] kuasanya bukan tak terbatas seperti kekaisaran Romawi kemudian atau zaman Republik di zamannya, melainkan menurut firman Allah (II:5-6) dan regula monastik. Wewenang Abas adalah sebatas pengaturan dan pembagian tugas.[12] Tentang hal-hal lain yang tidak diatur oleh regula – situasi darurat atau kondisi setempat – Abas dapat mengambil kebijaksanaan setelah meminta pertimbangan saran beberapa rahibnya. Namun kebijaksaan Abas adalah mutlak. Rahib harus mematuhinya, bukan dengan takut, melainkan dengan hormat. Abas bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai dan disegani. [13]
Walaupun Abas berwenang dalam menerapkan hukum, sanksi, dan keputusan, baik secara umum maupun khusus, namun wewenangnya lebih berupa penggembalaan ketimbang penguasaan. Dalam menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga, Abas membenci kejahatan tapi mengasihi para rahibnya.[14]
Abas bukan tanpa pemimpin, sebab ia adalah gembala (II:7 pastoris) yang diawasi oleh kepala rumah tangga (pater familias). Peran Abas menurut Benediktus berbeda dengan peran Kaisar dalam pemerintahan Romawi di zamannya dan tentu saja berbeda pula dengan Gereja di wilayah Italia kala itu. Hingga saat ini, sekalipun ada jabatan Abas dan para rahib, hierarki jabatan dan tata liturgi dalam biara tidak sekentara hierarki dalam Gereja. Kolegialitas para rahib/rubiah dipentingkan dalam pengambilan keputusan bersama. Hal ini tercermin pula melalui tata busana yang dikenakan secara seragam oleh Abas/Abdis dan rahib/rubiah lain, baik dalam kegiatan harian maupun untuk ibadah.[15] Demikian moto primus inter pares kadang-kadang lebih terasa di biara.
Sikap para rahib terhadap Abas adalah harus menaatinya dengan mutlak dan senang hati. Ketaatan rahib kepada Abas merupakan cermin ketaatan manusia kepada Allah dalam hal kembali kepada-Nya.[16] Para rahib harus memandang kehendak Abas mereka sebagai kehendak Allah. Hal tersebut dijalankan sebagai pelengkap hidup monastik.[17]
Sekalipun demikian, Abas bukan seorang penguasa tunggal dalam biara. Sebagai sikap timbal balik antara rahib dan Abas, Abas tidak diperkenankan mengeksploitasi para rahibnya. Sebab bagaimana pun, Abas menjadi eksis oleh karena ada para rahib. Oleh karena itu, perintah Abas dan ketaatan para rahibnya, dilakukan di dalam nama Tuhan, bukan kesewenang-wenangan atau rasa tertindas. Abas memerintah dalam rangka menerapkan Firman Tuhan dan regula biara.[18] Selanjutnya, Abas/Abdis taat kepada Tuhan.

III. Alat-alat beraskese berdasarkan PSB
Beraskese dalam hidup monastik menggunakan beberapa sarana, antara lain: makan dan puasa, beribadah harian, kerja dan studi.
III.1. Makan dipahami bukan sekadar pengisi kebutuhan perut manusia dan puasa sebagai melulu bentuk kesalehan. Lebih daripada itu, makan dan puasa ditempatkan sebagai bagian dari disiplin spiritualitas. Puasa menjadi latihan untuk menahan diri. Puasa bukan tujuan, melainkan sarana esensial mencapai pendisiplinan diri. Dengan demikian, askese mendapatkan bobotnya di dalam hidup monastik melalui berpuasa dan menahan diri.
Selanjutnya selain soal jatah makan dan minum, PSB mengatur soal jatah makan dan jatah minum, masa berpuasa, dan tugas membaca di ruang makan. Pokoknya, makan dan puasa bukan tujuan atau target hidup, melainkan bagian perziarahan manusia dalam membentuk spiritualitas. Oleh karena itu, rahib wajib menyukai berpuasa dan berpantang.[19] Puasa dan berpantang ini dapat pula dilatih dengan menahan diri dari menerima segala kemudahan.
III.2. Ibadah harian merupakan kegiatan penting bagi rahib. PSB menuliskannya sebagai opus Dei (karya Allah). Waktu-waktu ibadah harian dijalankan secara teratur dan tepat waktu. Ibadah-ibadah harian itu dijalankan pada malam dan sepanjang siang, dengan segenap jiwa dan tubuh mereka: suara, tata gerak, dan sikap berdoa yang takzim.
Jumlah tujuh kali berdoa sendiri mencerminkan praktek doa tak henti setiap saat (berdasarkan 1Tes 5:17 “tetaplah berdoa”). Penentuan jumlah sakral ini, bukan pada menjalankan “perintah” Alkitab, melainkan terlebih pada tradisi tokoh-tokoh Alkitab dan Patristik.[20] Penentuan jumlah dan waktu berdoa dalam sehari merupakan pengaturan askese agar tak terjadi raison d’être (cari-cari alasan) untuk melarikan diri dari tugas-tugas manusiawi seumumnya. Seorang rahib harus memiliki sikap dan praktek fervens monastik awal.[21] Oleh sebab itu, Benediktus menyusun regula ofisi secara lengkap, baik menyangkut waktu, daftar bacaan, tata liturgi, maupun musim. Pengaturan tersebut bertujuan agar rahib tidak berdoa selagi waktu bekerja secara campur aduk dan sekaligus, vice versa. RB memisahkan dengan tegas antara waktu untuk opus Dei dan sisa waktu hari itu untuk bekerja dan lectio Divina.[22]
III.3. Kerja dan studi dalam kehidupan komunitas tidak diabaikan. Ada kisah yang mirip kisah Antonius dengan kakaknya, begini: rahib Zakaria menghampiri Abas Silvanus dari Gunung Sinai yang sedang memperhatikan para rahib bekerja, dan berkata: “Jangan bekerja untuk mencari nafkah yang semu! Maria telah memilih bagian yang terbaik.” Lalu Silvanus berkata kepada para rahib: “Bawalah Zakaria dan tuntunlah ke dalam pondok pertapaan.” Pada sekitar pukul 15.00, Zakaria duduk di depan pintu ruang makan para rahib dan menantikan seseorang memanggilnya untuk makan. Tetapi tak seorang pun memanggilnya. Zakaria berdiri dan menghampiri Silvanus: “Abas, apakah para rahib tidak makan hari ini?” Abas menjawab: “Mereka makan.” Zakaria berkata: “Lho, mengapa Abas tidak memanggil saya untuk ikut makan?” Silvanus menjawab: “Engkau adalah seorang rohaniah (πνευματικός) dan tidak perlu makan. Tetapi kami adalah manusia jasmaniah, sebab itu kami perlu makan dan itulah sebabnya kami bekerja dengan tangan kami. Engkau telah memilih bagian yang terbaik, menghabiskan seluruh waktumu untuk membaca dan tidak ingin mengambil makanan jasmani.” Lalu Zakaria berlutut di hadapan Silvanus dan berkata: “Ampunilah saya, Abas!” Silvanus berkata: “Saya pikir Maria sangat tergantung pada Marta. Oleh karena Marta, Maria mendapat kemuliaan .…”[23]
Dalam RB XLVIII:1 kerja dipahami memiliki dua dimensi, yakni kerja tangan (opus manuum) dan kerja intelektual melalui studi (lectio divina = bacaan Ilahi). Keduanya dipahami sebagai kerja tangan harian (opera manuum cotidiana). Keduanya ditempatkan dalam kesatuan dengan ibadah harian, namun dilakukan secara bergantian satu persatu. Benediktus tidak ingin rahibnya melulu berdoa tanpa bekerja, atau melulu bekerja tanpa berdoa. Dalam sehari, rahib mengatur waktunya rata-rata 3½ - 4 jam untuk ibadah harian, 3½ - 4 jam untuk membaca atau studi, dan 6 - 8 jam untuk bekerja manual.[24] Sisanya adalah waktu tidur. Kerja manual dan kerja intelektual, adalah utama dalam hidup monastik, namun keduanya harus dijalani dengan serasi dan seimbang dengan hal-hal lain.
Sebagaimana bekerja, tugas belajar dilakukan untuk melawan kemalasan yang merupakan musuh jiwa. Belajar pun merupakan tugas esensial dan hak seorang asket. Belajar adalah metode atau disiplin untuk menumbuhkan kematangan jiwa. Jiwa yang matang mendambakan kebenaran sejati yang oleh karenanya merupakan fundamen kehidupan doa dan kontemplasi.[25]
Kerja manual dan belajar berhubungan dengan kegiatan pelatihan spiritualitas demi pengembalian jiwa manusia kepada intinya. Rahib/rubiah Benediktin tidak meremehkan disiplin spiritualitas personal di biara dalam rangka berhubungan intim dengan Allah (Ul 33:12; Mat 6:6). Salah satu metode disiplin spiritualitas itu berupa kegiatan intelektual (2Kor 3:18), yakni mempelajari Alkitab atau meditasi (PSB XLVIII:23 belajar atau membaca untuk menerjemahkan meditare aut legere), di samping ibadah.[26] Terutama membaca Alkitab melalui lectio Divina, dipahami bahwa Allah hadir di dalam rahib membaca Alkitab sebagaimana Ia hadir di dalam perayaan perjamuan kudus.[27] Kehadiran-Nya dalam bentuk karya nyata dalam sejarah Israel secara khusus dan dunia seumumnya. Tujuannya adalah supaya manusia lebih mendalami misteri Allah. Motivasi pertobatan setiap hari itu akan semakin nyata dengan terus menerus menyelami misteri Ilahi melalui penelitian Alkitab, naskah Patristik, dan liturgi.[28] Selama berabad-abad, kaum asket sejak monastik awal di gurun pasir dikenal karena kegiatannya yang sangat besar dalam membaca dan mempelajari Alkitab siang dan malam.[29] Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi kegiatan tulis menulis yang menghasilkan banyak karya sebagaimana dilakukan oleh Cassiodorus beberapa saat kemudian.




IV. Aplikasinya untuk kita
GKI bukan biara, namun GKI juga melirik innerweltliche askese atau berasake di dalam dunia (bukan dalam biara). Oleh karena itu, tak ada salahnya kita menarik beberapa nilai spiritualitas monastik bagi hidup bergereja. Saya akan paparkan dua hal yang kiranya dapat kesejajarannya (namun tidak sebanding), yaitu komunitas dan satu pimpinan.
Komunitas atau rumah biara laksana GKI bagi kita. Ada konven dan beberapa kegiatan klasikal dan sinodal yang merupakan sarana berkomunitas. Sarana-sarana yang ada bukan hanya mempererat komunitas, tetapi juga memberi nilai akan artinya kebersamaan. Di dalam komunitas yang sehat terdapat pertumbuhan. Pengerja yang lemah tidak dikucilkan sehingga merasa minder di antara yang lain. Pengerja yang lebih tidak merasa sombong hanya karena sering berbagi, karena masih ada pengerja lain yang lebih “hebat” daripadanya.
Di dalam komunitas GKI, terdapat Tager dan Tatib yang mengatur kehidupan bersama kita sebagaimana biara memiliki Peraturan Biara. Semua pengerja berjalan menurut aturannya, sehingga tidak ada yang merasa didiskriminasikan atau dimiskinkan, sementara yang lain diistimewakan. Dalam komunitas, yang diistimewakan akan merasa malu hati karena memakai yang bukan haknya.
Komunitas bukan hanya mengatur kita berjalan bersama, tetapi juga mengarahkan tujuan bersama. Dalam disiplin spiritualitas monastik, target jarang ditekankan, melainkan proses dan tujuan. Kehidupan dihayati sebagai perziarahan, sehingga “setiap momen” memiliki arti tersendiri.
Hal yang berbeda adalah keluarga. Para rahib hidup tanpa keluarga biologis; hanya keluarga komunitas. Sementara kita hidup dengan dan dalam keluarga. Namun bukan berarti kesetiakawanan dengan rekan beralasan untuk diabaikan. Pertumbuhan spiritual Pendeta juga merupakan dan diperoleh dari pertumbuhan rekan-rekannya. ƒ




Catatan-catatan
[1] Untuk Jenis dan cirri-cirinya, saya telah uraikan dalam Rasid Rachman, Kehidupan dan Spiritualitas Biara, Persetia 2002
[2] PSB 1:2-10, 12.
[3] Timothy Fry (ed), The Rule of St. Benedict, h 92.
[4] Ibid, h 168-169.
[5] George Holzherr (ed), The Rule of Benendict: a Guide to Christian Living, h 44.
[6] Lawrence, h 28.
[7] Bnd David Dom Knowles, The Benedictines: a Digest for Moderns, h 15-16; Fernando U Escobar, Struttura e Specifità della Vita Religiosa: seconda la regola di S. Benedetto e gli opuscoli di S. Francesco D’Assisi, h 58-59; dan Claude Dagens, Saint Benoît et l’Orientation du Mouvement Monastique, h 164-165.
[8] Marie de Miserey, Saint Benoît, h 53.
[9] Knowles, h 17 dan mengacu pada W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1986 untuk entri rukun syarat.
[10] Fry, h 325.
[11] Knowles, h 17.
[12] McCann, h 133-134.
[13] Lawrence, h 26-27.
[14] Miserey, h h 53-54.
[15] Miserey, h 56 menuliskan ada tiga jenis busana biara Benediktus, yaitu: jubah musim dingin, jubah musim panas, dan pakaian kerja. Ini dapat dibandingkan dengan beberapa biara di Indonesia, yaitu: jubah harian (tanpa pembedaan musim), jubah ibadah, dan pakaian kerja.
[16] Olsen, h 38-39.
[17] Knowles, h 18.
[18] Knowles, h 18-19.
[19] Fry, h 240-241 dan Vogüé, h 229 melihat RM III:13 = RB IV:13 (ieiunium amare).
[20] Vogüé, h 127-128, dan 163 mengingatkan RM 42:3-4 tentang tujuh karunia Roh Kudus (propter septiformem Spiritum) berhubungan dengan pembacaan Mazmur tujuh kali sehari. RB XVI:2 menuliskan tujuh kali, yaitu: matutino, primae, tertiae, sextae, nonae, vesperae, dan complerorii. Ada kerancuan. Tentang vigili pukul 03.00 tidak disebutkan. Matutino dan primae disebutkan dua kali, padahal itu merupakan satu ibadah pagi.
[21] Vogüé, h 129-130.
[22] Ibid., h 136-137 dan 165 membandingkan antara RM 50:20 yang memisahkan doa dan kerja, “antequam incoent laborare, orent, et postquam reexplicaverint, reorent” (Italia) dan tradisi gurun pasir awal (Mesir) di mana rahib tetap bekerja sementara mendaraskan Mazmur dan mendengarkan Alkitab.
[23] Holzherr, h 230.
[24] Décarreaux, h 226.
[25] Escobar, h 64. Vogüé, h 135 menuliskan bahwa umumnya kerja intelektual ini dilakukan selama dua atau tiga jam sehari.
[26] Sebastianus, h 36 mencatat bahwa Hieronymus (± 340) tanpa sumber, rahib yang gemar membaca dan penerjemah Alkitab Vulgata, pernah berkata kepada Eustathius (± 300 – ± 377): “Kalau engkau berdoa, engkau berbicara kepada Pengantinmu, kalau engkau membaca, ia berbicara kepadamu.” Lengkapi informasi Hieronymus pada Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Penerjemah: Conny Item-Corputy. BPK Gunung Mulia 1990, h 37-39. Cyprianus (± 200 - 258) berkata: “Baktikanlah dirimu dengan giat kepada doa dan kepada bacaan, berbicaralah dengan Allah atau Allah berbicara kepadamu.”
[27] Leloir, h 33.
[28] Delatte, h 349-350.
[29] Ibid., h 350.

Senin, Maret 24, 2008

SPIRITUALITAS

SEBUAH DISIPLIN HIDUP


Oleh : Rasid Rachman


Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “spiritualitas”. Kata spiritualitas bukan hanya digunakan dalam gereja, tetapi juga di dunia sesehari (semisal Spirituality Quotient) yang posisinya disejajarkan dengan IQ dan EQ. Spiritualitas berasal dari bahasa Latin: spiritus (n), artinya menghembuskan, tiupan, aliran udara, nafas, ilham, roh, jiwa, sukma, dan hati. Pengertian tersebut berhubungan dengan kedirian dan kesadaran manusia. Spiritus juga berarti sikap, perasaan, kesadaran diri. Pengertian ini berhubungan dengan pelatihan atau disiplin hidup. Spiritus dapat juga berarti kesombongan, keinginan untuk memegahkan diri, gila hormat, murka, dan kemarahan; arti ini masih berhubungan dengan keadaan diri manusia secara manusiawi. Kata keterangan spiritalis, artinya rohani, batin, hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan, maknawi. Kata kerja spiro berarti berembus, bertiup, membantu, memajukan (memberi spirit), memancarkan, memberi semangat. Pengertian tersebut berhubungan dengan hal mengerjakan sesuatu, baik bagi diri sendiri maupun terutama bagi orang lain.
Jika umat manusia digolongkan menurut jalan hidupnya, maka kaum spiritualis adalah salah satunya, masih termasuk kategori mistik. Golongan-golongan yang lain yakni kaum humanis dan kaum agamanis. Kaum agamanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan dogma agama dan peribadahan lembaga agama, agama komunal, atau agama masyarakat. Kaum humanis mengekspresikan eksistensi dirinya melalui jalan ilmu-ilmu pengetahuan, filsafat, dan hidup bermasyarakat. Kaum spiritualis mengekspresikan dirinya melalui jalan askese. Yang jelas berbeda dari golongan-golongan tersebut adalah cara pelatihan atau disiplin hidup yang dilakukannya, sedangkan “jadinya” kira-kira sama, yakni menjadi manusia sempurna secara manusiawi. Seorang spiritualis menunjukan sikap spiritualitasnya, seorang humanis menunjukkan kemanusiaannya, dan seorang agamanis menunjukkan sikap beragamanya demi kepentingan dunia, manusia, dan tata masyarakat yang mensejarah.
Dewasa ini, menurut hemat saya, ada manusia yang murni konsisten berada pada salah satu saja penggolongan tersebut, namun rupanya lebih banyak yang tidak murni konsisten berada pada salah satu penggolongan tersebut. Seorang humanis ada yang juga agamanis atau spiritualis, vice versa. Walaupun setiap kaum dari masing-masing golongan bisa saling belajar dari golongan lain, namun setiap golongan tersebut “mempunyai dunia sendiri” yang dijalankan sepanjang hidupnya. Dunia setiap golongan tersebut tidak terlepas dari disiplin ilmu, sejarah, dan tradisinya masing-masing. Kaum humanis mengembangkan tradisinya dari sekolah, kaum agamanis dari rumah ibadahnya masing-masing, sedangkan kaum spiritualis dari biara atau rumah pertapaan.

Berspiritualitas adalah berdiri sendiri.

Sejarah ringkas spiritualitas
Gerakan spiritualitas sudah berlangsung lama sekali dalam sejarah sejak ratusan tahun sebelum Masehi. Sejarah mencatat Sang Budha Gautama pada sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Di Israel ada tradisi gurun pasir semisal Qumran dan Therapeutik. Gerakan spiritualitas juga bersifat universal dalam hampir setiap kebudayaan masyarakat, baik timur maupun barat (mis. keberadaan tokoh spiritual di setiap suku dan masyarakat). Demikian pula gerakan spiritualitas dalam kekristenan.
Pada mulanya, lahirnya gerakan spiritualitas dalam kekristenan dimulai oleh kalangan awam secara individual, biasanya orang muda. Mereka ingin melepaskan diri dari ketergantungan pada keduniawian, lembaga gereja, gelar kebangsawanan, dan hidup bermasyarakat. Sebagai gantinya, mereka hidup menyendiri (monachoi) dan menjalankan tapa brata, bermeditasi, atau hidup askese (pertarakan). Hidup tak bermasyarakat merupakan nafas seorang rahib. “Rahib justru tak dapat hidup jika keluar dari sel dan bermasyarakat,” kata Antonius, salah seorang pelopor gerakan spiritualitas di Mesir. “Kesunyian adalah pembebasan kaum asket,” kata Arsenius. Hidup menyendiri ini merupakan sikap kemandirian dan ketidak-tergantungan. Orang yang menjalankan disiplin melatih diri untuk “tidak meminta-minta” atau mengemis. Pembebasan dari gelar kebangsawanan merupakan upaya para rahib untuk bukan hanya menolak keduniawian, tetapi juga pada jabatan dan mengejar gelar. Selain itu, para rahib/rubiah tidak terikat pada hidup perkawinan, melainkan pada selibat. Selain betul-betul sendirian, juga dimungkinkan para asket membuat perkumpulan. Ada perkumpulan asket atau biara pria, ada pula biara perempuan; disebut kenobit. Para rahib/rubiah tidak mengikat diri pada materi-materi duniawi, semisal: jabatan, gelar, harta, lembaga perkawinan, melainkan menerapkan pola hidup miskin dan selibat. Pola hidup miskin kemudian berkembang menjadi pola hidup sederhana dan tidak selalu enak.
Suatu tempat untuk menyendiri bagi kaum spiritualis pada sekitar abad ke-3 adalah padang pasir Mesir. Dipilihnya padang pasir di Mesir tak terlepas dari masalah penganiayaan terhadap orang Kristen oleh pemerintahan Romawi. Selama penganiayaan dan pembunuhan zaman Kaisar Decius (249–251), banyak orang Kristen melarikan diri ke padang pasir untuk melepaskan penderitaannya. Penganiayaan terhadap orang Kristen memuncak hingga zaman Kaisar Diocletian (245-313) yang menguasai wilayah timur Romawi dan Kaisar Maximian yang menguasai wilayah barat. Hingga kini padang pasir Mesir dianggap induk, pelopor, dan pola membiara awal dari segala spiritualitas Kristen, baik timur maupun barat, oleh berbagai kalangan ahli monastik. Di gurun pasir itulah kemudian lahir dan berkembang pusat-pusat monastik awal. Pusat-pusat monastik awal itu terletak di luar kota dan di desa-desa sepanjang Sungai Nil, biasanya tidak jauh dari oasis atau mata air ke arah Laut Merah. Ada juga yang berlokasi di dataran tinggi, perbukitan, atau di dalam gua. Tempat-tempat itu berada di sekitar quba (bahasa Syria artinya sumber air atau sumur tua).
Dari Mesir, pancaran disiplin spiritualitas merambah ke wilayah barat, yakni Italia. Benediktus yang lahir dari keluarga bangsawan di Nursia-Italia, menempuh jalan askese anakhoret di Enfide. Pada mulanya, ia banyak meniru cara monastik padang pasir. Namun karena panggilan spiritualitasnya, kemudian ia mendirikan biara kenobit di Subiaco dan Monte Cassino. Jika di Mesir para rahib memusatkan pada pola hidup bertapa seorang diri (eremit atau anakhoret), maka menurut Benediktus kehidupan bersama (kenobit) dipandang sebagai pola yang ideal.
Setelah Benediktus mangkat, biara Benediktin tidak mampu bertahan terhadap beberapa kali serangan dan kehancuran rumah biara di Monte Cassino. Para rahib bersama tradisi Benediktin menyebar ke Irlandia dan kemudian ke Perancis. Di dua wilayah tersebut Benediktin berkembang, bahkan hingga kini masih dapat dijumpai (bekas) pusat biara. Terutama Perancis, kemudian menjadi pusat lahirnya biara-biara, yang berarti terpeliharanya kehidupan spiritualitas. Perkembangan Benediktin ke seantero Eropa terutama bukan disebabkan oleh para rahibnya, tetapi pada pengaruh Regula Santo Benediktus (RB) atau Peraturan Santo Benediktus (PSB). RB rupanya menarik perhatian baik para rahib maupun penguasa di Eropa waktu itu. Banyak biara Eropa yang kemudian mengganti regula lama mereka dengan RB. Karena hal inilah kemudian Benediktus dinobatkan oleh Takhta Suci Vatican sebagai Bapa Eropa.
Hingga sekitar pertengahan Abad-abad Pertengahan, mulai terbentuk akan-akar dua tradisi kehidupan monastik, yaitu: 1) kerasulan aktif, dan 2) kontemplatif atau observansi ketat. Namun kedua tradisi tersebut baru jelas terlihat setelah munculnya biara Cluny-Perancis pada tahun 909 yang sangat aktif. Cluny tidak bertahan lama, sebab kemudian muncul gerakan spiritualitas baru, yaitu dengan lahirnya biara Cîteaux dan la Grande Chartreux pada sekitar abad ke-11 dan ke-12. Keduanya menerapkan kembali disiplin spiritualitas kontemplatif dan pertapaan. Para rahib tinggal di selnya masing-masing dalam sebuah rumah biara. Dari Chartreux kemudian muncul tradisi Kartusian, dan Cîteaux melahirkan Cistersiensis (Rawaseneng-Temanggung dan Gedono-Salatiga).

Disiplin spiritualitas
Agak berbeda dengan teologi sebagai ilmu, spiritualitas adalah sebuah disiplin hidup atau pelatihan untuk mencapai kesempurnaan manusiawi, bukan tujuan. Pelatihan spiritualitas berjalan seumur hidup, sehingga kemudian menjadi nilai. Oleh karena sebuah disiplin, maka spiritualitas terlihat sebagai pola hidup seseorang atau komunitas dalam rangka menyempurnakan kemanusiaannya, yaitu: mandiri, pengendalian diri, bersahaja dan sederhana, sadar diri, dan berketuhanan.
Sejarah monastik memunculkan dua tradisi membiara, yaitu aktif dan kontemplatif. Biara aktif melakukan karya kerasulan di dunia kesehatan, pendidikan, pengasuhan, atau rumah retret. Pendirian rumah sakit, pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi, dan panti-panti asuhan, merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan dalam pola spiritualitas aktif. Termasuk di dalam biara ini adalah Misionaris Cinta Kasih di Kolkata-India. Biara kontemplatif, tak kurang pula perannya. Selain memproduksi hasil tangan dan home industry, biara kontemplatif juga menyediakan sarana retret atau rekoleksi bagi setiap orang yang memerlukan waktu berhening beberapa saat. Dari informasi tersebut, yang perlu kita ketahui bahwa berdisiplin spiritualitas bukan berdiam diri dengan melulu berdoa, melainkan bekerja melakukan sesuatu bagi dunia karena dorongan kemanusiaan.
Doa dan kerja. Kehidupan askese tidak melulu diisi dengan berdoa dan bermeditasi. Sejak Antonius di padang pasir, kehidupan doa dan kerja telah dijalankan oleh rahib. Para rahib berdoa agar selalu berhubungan dengan Allah. Para rahib bekerja agar memuliakan Allah. Dengan bekerja, rahib tidak menjadi pengemis sehingga berdosa, atau menjadi beban bagi orang lain untuk mencukupi kehidupannya. Bahkan Pachomius, sezaman dengan Antonius, mengembangkan kehidupan kerja menjadi pebisnis berjualan hasil karya tangannya ke luar wilayahnya di Mesir Hulu. Namun kerja dilakukan tanpa ngoyo. Rahib tidak bekerja untuk mengejar keuntungan (godaan bagi biara aktif), juga tidak melulu berdoa sebagai alasan agar tidak usah bekerja (godaan bagi biara kontemplatif).
Puasa dan derma. Puasa dijalankan dalam kehidupan askese agar asket selalu eling akan kemanusiaannya. Selain itu, puasa menyadarkan manusia akan artinya kenyang dan makan karena pernah lapar. Oleh karena itu, berpuasa selalu diikuti oleh derma (bnd Islam: puasa dan zakat fitrah). Sebab dari kelebihan karena tidak makan, seseorang dapat memberikannya kepada yang lapar. Dengan demikian, disiplin spiritualitas membangkitkan juga kepekaan sosial seseorang “tanpa pandang bulu” dan berpola hidup sederhana.
Belajar. Baru di zaman Benediktus abad ke-6, kaum asket menggunakan sebagian waktunya untuk membaca buku selain Alkitab dan mempelajari tradisi. Sejarah mencatat munculnya banyak penulis dan peneliti dari kaum biarawan. Hingga kini, biara-biara memiliki perpustakaan dan buku-buku yang sangat berguna untuk ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang teologi dan spiritualitas. Dengan demikian kita melihat bahwa disiplin spiritualitas tidak dapat dilepaskan dari proses pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Apalagi di zaman sekarang, banyak rahib/rubiah yang terpelajar dan berpendidikan tinggi.
Keramahan dalam menolong. Beberapa biara memiliki ruang tamu, yang disebut hospitas. Pada sekitar Abad-abad Pertengahan, banyak orang sakit dibawa ke biara, dan para rubiah menolongnya di ruang tamu tersebut. Pertolongan ini kemudian menjadi semakin mandiri dengan didirikannya rumah-rumah sakit (hospital) untuk merawat orang sakit di luar rumah biara.
Kesetiaan pada regula biara. Hal ini dilakukan agar kehidupan kerahiban dan monastik tidak menjadi bias karena zaman. Kesetiaan pada regula merupakan arah bagi rahib untuk menjalankan panggilan spiritualitasnya agar tetap pada jalur panggilan semula (konsistensi), yaitu: kemiskinan, keperawanan, doa, dan bekerja. Hal ini dapat dibandingkan dengan core business gereja.

Spiritualitas dalam Gereja (bnd die Innerweltliche askese)
Gereja dapat mengambil refleksi kehidupan spiritualitas kaum spiritualis tanpa menjadi rahib dan menjalani kehidupan di biara. Beberapa percikan spiritualitas biara terpancar pula dalam kehidupan gereja seumumnya. Atau, gereja dapat belajar dan menerapkan beberapa pancaran spiritualitas askese dalam hidupnya.
Salah satu contoh adalah berjualan makanan atau karya tangan untuk melakukan suatu kegiatan. Biara kontemplatif memenuhi kehidupannya dengan menjual hasil kerja tangannya sendiri. Berjualan makanan untuk kegiatan bermanfaat, misalnya, jauh lebih baik ketimbang melulu minta-minta sumbangan untuk merayakan Natal. Memang beberapa pihak justru tidak setuju dengan usaha berjualan di gereja. Biasanya yang menjadi acuan adalah Lukas 19:45-46 “Yesus mengobrak-abrik barang dagangan di Bait Allah”, namun menutupi nas 2Tesalonika 3 “kalau tidak mau bekerja, ya jangan makan”. Pada pihak lain kita juga dapat melihat bahwa berjualan adalah salah satu pekerjaan yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, membuat seseorang mandiri dan tetap bekerja, bersaing sehat, dan jauh dari korupsi.
Yang saat ini juga relevan adalah pola hidup sederhana. Dulunya, GKI adalah gereja sederhana. Areal bangunan GKI tergolong sempit dan tidak megah, sebab GKI memang berasal dari gereja yang “tidak ada apa-apa”. Dibanding dengan gereja lain di sekitar GKI, semisal GKP, GPIB, dan RK, GKI bukan gereja warisan atau dukungan gereja Eropa dengan lahan yang luas. Namun di tahun 1980-an dan seterusnya, GKI menjadi gereja yang secara ekonomi mapan. Beberapa Jemaat memperluas kavling rumah ibadahnya, membeli beberapa mobil, bahkan sekarang sedang trend memasang pengejuk ruang (AC). Berkatnya memang baik, namun akibatnya pun perlu diwaspadai supaya kita tidak lupa diri. Memang saya tidak mencap semua yang melakukan itu adalah salah, namun saya mengajak kita semua untuk melihat alasan pengadaan semua hal tersebut. Apakah memang kebutuhan, atau karena kemanjaan? Kebutuhan memang merupakan alasan tepat untuk dipenuhi, tetapi kemanjaan hanya menciptakan sikap beriman yang tumpul dan terlena karena terbiasa selalu hidup enak-kepenak. Disiplin spiritualitas selalu memberikan “ruang” agar hidup tidak selalu serba enak dan mudah, dengan melatih diri hidup sederhana yakni hidup secukupnya.
Ora et labora merupakan disiplin spiritualitas yang baik dilakukan oleh gereja. Augustinus abad ke-5 mengatakan “vere novit recte vivere, qui recte novit orare”, artinya orang yang hidup benar adalah orang yang menjalankan doa dengan benar. Orang yang hidup benar adalah orang yang tahu menjadi manusia. Di biara-biara, para rahib tidak melulu berdoa tujuh kali sehari, tetapi juga bekerja dengan giat. Lagipula, seseorang yang bekerja tidak akan menghabiskan waktunya dengan ngobrol-ngobrol. Kerja dapat digolongkan menjadi kerja tangan (=manual) dan kerja intelektual (=belajar). Kerja ditempatkan secara sejajar dengan doa; sama-sama pentingnya. Kurangnya kehidupan doa (hanya seminggu sekali dalam persekutuan doa pagi/sore), dapat menyebabkan kita juga tidak memandang penting bekerja mandiri atau menghormati orang yang bekerja dengan tangannya. Banyak kalangan yang merasa “tak pantas” melakukan bongkar-pasang kursi di gereja, atau membagi-bagikan nasi bungkus kepada korban banjir, atau menyapu halaman gereja dan menyikat toilet.