Selasa, April 22, 2008

NIAS 2005







































































Hancur ..., tetapi ada pengharapan
Remuk ..., tetapi ada pemulihan
Runtuh ..., tetapi ada pertumbuhan
Hilang ..., tetapi ada penciptaan



*) Foto-foto ini diambil oleh seorang teman untuk mengenang tsunami dan gempa bumi di Nias 2005.




Jumat, April 04, 2008

PUASA


Oleh: Rasid Rachman


Pendahuluan
Tradisi berpuasa telah dikenal oleh umat manusia secara universal sejak berabad-abad lalu. Pada umumnya praktek berpuasa dihisapkan ke dalam ritus keagamaan, namun ada pula berpuasa yang dilakukan tanpa tata cara agama. Secara kronologis menurut kemunculannya, agama-agama besar seperti Hinduisme (abad ke-15 SM) menjelang hari raya Nyepi dan hari raya Saraswati, Yudaisme (abad ke-10 SM), Konfusianisme (abad ke-5 SM), Budhisme (abad ke-6 SM), Shinto, Kristen (abad ke-1 M) selama masa Prapaska, Taoisme (abad ke-2 M), dan Islam (abad ke-7 M) selama bulan Ramadhan, telah mempraktekkan puasa hingga hari ini. Demikian pula dengan agama-agama suku dan beberapa kebudayaan manusia, semisal: Indian-Amerika, Jawa, Cina, India, Yunani, dan sebagainya.
Khusus di dalam kekristenan, secara suka rela berpuasa tetap dipraktekkan baik secara komunal maupun personal. Puasa di dalam kekristenan berakar dari tradisi Yudaisme (dan mempunyai kesejajaran dalam Islam), tetapi tidak sama. Walaupun ada beberapa Gereja yang menetapkan puasa secara resmi dan ada pula yang tidak menetapkannya secara resmi, tetapi praktek itu dengan segala tata caranya terdapat di dalam kekristenan.

1. Arti etimologi dan tujuan
Puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu: upa dan wasa.
Upa, semacam perfiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha Kuasa, seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi upawasa, atau yang kemudian pengucapannya menjadi puasa, tidak lain daripada cara mendekatkan diri dengan Tuhan. Sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, puasa adalah pelatihan mental yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia.
Dengan demikian, puasa – terutama dalam agama Hindu – dipahami sebagai sarana, cara, atau metode untuk mencapai sesuatu. Dalam hal ini, mencapai sesuatu itu adalah membarui sikap. Oleh karenanya, sifat puasa adalah sakral, karena dihubungkan dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa dapat dijalankan oleh lembaga, komunitas, atau individu.
Berdasarkan pengertiannya, puasa tidak bertujuan pada dirinya atau untuk berdiet, melainkan bertujuan untuk membarui sikap iman melalui pelatihan spiritualitas.

2. Perjanjian Lama
Orang Israel dalam Perjanjian Lama telah mengenal praktek berpuasa sejak lama. Secara umum puasa berasal dari kata tşŭm (berpuasa) tşŏm (puasa) atau ānna nafsyô (menekan hawa nafsu). Berpuasa menurut pengertian tersebut dijalankan dengan cara berhenti atau mengurangi makan (dan kadang-kadang minum) selama beberapa saat dalam rangka perendahan diri secara khidmat kepada Allah. Perendahan diri tersebut dilakukan dalam rangka berbagai hal, misalnya: penyesalan dan pendamaian kepada Allah dari kesalahan manusia (1Sam 7:4-6; 1Raj 21:27; Dan 9:3); duka cita (1Sam 31:13); perjuangan (2Sam 12:16,20-23; Est 4:15-17); merencanakan kemenangan melalui perang (Hak 20:26-30; 2Taw 20:3); Persiapan menyambut penyataan TUHAN (Kel 34:28; Ul 9:9; Dan 10:3); persiapan untuk pertobatan dan perdamaian menjelang hari raya Pendamaian (yom Kippur) pada tanggal 10 Tishri (bulan ke-7); mengenangkan kejatuhan Yerusalem dan pemulihan TUHAN atas Israel (Zak 7 – 8)
Berdasarkan uraian tersebut, fungsi puasa dalam Perjanjian Lama tidak melulu sebagai sarana, cara, atau metode (terutama untuk mencapai kesempurnaan). Fungsi puasa juga sebagai tanda, simbol, persiapan, pengudusan diri, dan tekad di dalam memperjuangkan sesuatu. Puasa seringkali dilakukan secara komunal di dalam liturgi dan bersifat suka rela. Sekalipun cara berpuasa hanya dihubungkan dengan makanan dan minuman, tetapi seringkali berpuasa diikuti
dengan berpantang.
Berpantang tidak hanya menyangkut soal makan dan minum. Berpantang dilakukan dengan mengerjakan sesuatu sebagai tanda, misalnya: penyesalan. Israel (Hak 20:26) berpantang dengan menangis dan mempersembahkan kurban. Ahab (1Raj 21:27) berpantang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Israel berpantang dengan menangis dan mengaduh (Yl 2:12).

3. Perjanjian Baru
Tidak seperti dalam Perjanjian Lama yang lebih mengulas praktek berpuasa, puasa di dalam Perjanjian Baru mulai dipersoalkan penggunaannya. Puasa dalam bahasa Yunani ialah νηστεύω (tidak makan), atau dari άσιτος atau άσιτία. Arti kedua lebih menjelaskan kepada arti berpuasa terpaksa tidak makan (Kis 27:21). Sedangkan arti pertama lebih menjelaskan pada disiplin berpuasa sebagai suatu ibadah. Yesus berpuasa (νηστεύσας) selama empat puluh hari siang dan malam (Mat 4:1-11). Ketiga jawaban Yesus melawan Iblis menggambarkan hal ketergantungan manusia hanya kepada Allah. 1) “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman Allah.” 2) “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu.” 3) “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu.” Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Di dalam ketergantungan kepada Allah, manusia mengendalikan dirinya.
Di samping itu, rupanya ada kelompok manusia yang menyalahgunakan puasa (Mat 6:16). Yesus menyinggung hal berpuasa, “Apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik (maksudnya adalah orang-orang Farisi), supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Penulis Matius merujuk kepada praktek berpuasa yang dilakukan secara salah sebagaimana tertulis di dalam kitab Nabi-nabi.

4. Berpuasa dalam naskah Patristik
Hakikat berpuasa dalam Alkitab tidak sama 100% dengan berpuasa dan berpantang dalam sejarah Gereja. Ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh Gereja dan ada beberapa hal tidak ada dalam tradisi Yahudi. Naskah-naskah berikut membuktikan bahwa berpuasa telah dipraktekkan oleh Gereja – terutama kaum asket – sejak awal sekali.
Didakhe 7 (± 120 – 150) “sebelum pembaptisan, orang yang membaptis dan orang yang akan dibaptis harus berpuasa, dan orang lain pun boleh semampunya. Dan kamu harus mengatakan kepada calon baptis untuk berpuasa selama satu atau dua hari sebelum pembaptisan.” Secara tradisi, pembaptisan dan perjamuan kudus dilaksanakan pada hari Minggu Paska. Jadi, puasa calon baptis dilakukan pada Jumat dan Sabtu dalam masa raya Paska. Sejak abad ke-2 dan ke-3, kebiasaan berpuasa ini diperluas menjadi hari-hari tertentu yang ditetapkan sebagai hari puasa. Hingga kini, berpuasa sebelum perjamuan kudus pada hari Minggu masih menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang Kristen.
Puasa dan derma
Salah satu tujuan atau hikmat berpuasa yang belum dimunculkan pada zaman Alkitab, adalah praktek berpuasa yang diikuti dengan berderma. Seorang filsuf dan apologis: Aristides dari Athena (± 140) dalam Apologia-nya – ketika berbicara tentang sikap hidup orang Kristen di antara bangsa kafir – menuliskan tentang sikap yang baik bagi seorang Kristen. Antara lain dituliskannya:
“Jikalau terdapat orang miskin atau orang kekurangan di antara mereka (maksudnya: orang asing atau orang Kristen), dan jika mereka (maksudnya: orang Kristen itu) tidak mempunyai makanan lebih sama sekali, maka mereka berpuasa selama dua-tiga hari agar dapat memberikan makanannya kepada yang membutuhkannya.”
Apakah benar ajaran Aristides ini dilakukan secara demikian oleh orang-orang Kristen pada abad ke-2 itu, memang tidak ada bukti. Namun uraian ini dapat menjadi salah satu tolok ukur tentang sikap derma dan perhatian sosial dari berpuasa. Kaum asket memberlakukannya. Antonius dan Benediktus memperhatikan persoalan ini sebagai ajaran hidup monastik. Hanya, dari Aristides kita dapat merujuk dan melihatnya secara luas kepada kitab Nabi-nabi. Para Nabi (Yes 58:3-7; Yer 14:12; Za 7:5) mengecam orang yang salah dalam berpuasa. Berpuasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, membagikan rotimu kepada yang lapar” (Yes 58:3-7).
Pada masa kini, hal berderma waktu berpuasa dapat dilihat dalam Gereja Roma Katolik di seluruh dunia dan umat Islam melalui zakat fitrah. Umat Katolik menetapkan hal berderma melalui berpuasa; dikenal dengan Aksi Puasa Pembangunan (APP). Antara lain diinformasikan sebagai berikut:
“Puasa adalah gerakan tobat bersama yang bertujuan memurnikan kehidupan Kristiani dengan bertobat dan beramal, antara lain dengan mengumpulkan derma di Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Katolik untuk proyek-proyek amal, sosial, dan pembangunan, ¼ dan proyek-proyek kemanusiaan di negara-negara berkembang.”
Dengan merujuk praktek tersebut, dapat dikatakan bahwa berpausa dan berderma merupakan hakikat puasa Gereja sejak awal sejarahnya.

Praktek berpuasa
Didakhe 8 menuliskan sebagai berikut: “Janganlah engkau melakukan puasamu seperti orang kafir (masudnya: orang Yahudi). Mereka berpuasa pada Senin dan Kamis, tetapi kamu harus berpuasa pada Rabu dan Jumat.”
Kedua hari tersebut dianggap berhubungan dengan peristiwa kematian Yesus, yakni ketika Yudas berkhianat untuk menjual Gurunya dan hari kematian-Nya. Gereja Timur dan beberapa tradisi kekristenan Barat tetap memberlakukan kedua hari tersebut sebagai waktu berpuasa sepanjang tahun di luar masa Prapaska. Pada masa Prapaska, lazimnya Gereja memberlakukan puasa lebih intensif selama dua pekan menjelang Paska; semakin dekat kepada Paska, maka berpuasa semakin intens terutama pada Jumat Agung dan Sabtu Sunyi. Pada masa Prapaska selama empat puluh hari itu diberlakukan pula kepada para calon baptis.
“Angka 40 mengingatkan akan empat puluh tahun umat Israel menjelajah di gurun pasir sebelum memasuki Tanah Suci, empat puluh hari Musa berada di Gunung Sinai, dan terutama empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa.”
Biasanya umat berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung dan berpantang makan daging atau jenis pantangan lain yang ditentukan sendiri oleh pribadi yang menjalankannya. Misalnya tidak merokok, pantang gula, pantang garam, pantang pesta, pantang hiburan, dsb. Dalam beberapa kesempatan pun, semisal: sebelum pembaptisan, sebelum perjamuan kudus, sebelum kebaktian, banyak orang Kristen berpuasa singkat. Oleh karena sifat puasa adalah suka rela dan personal, maka waktu dan bentuknya bisa tidak dimutlakkan. Namun tujuan puasa untuk berhemat dan menahan diri sangat bermanfaat bagi disiplin spiritualitas. Hasil penghematan itu dapat untuk derma. Uang rokok, pesta pora, hiburan, dapat diirit dan disumbangkan kepada orang miskin dan proyek-proyek kemanusiaan.
Bagi kebanyakan Gereja Protestan, praktek berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Yesus, tidak terkalu ditekankan, apalagi diberlakukan sebagai liturgi umat. Namun Gereja tidak melarang ibadah personal puasa ini, apabila dilakukan dengan suka rela. Memang pada kenyataannya, tidak sedikit orang Kristen yang melakukan puasa. Kaum Injili, Gereja-gereja Pantekostal, kelompok Kharismatik, secara terbuka mengizinkan dan menganjurkan umat-Nya berpuasa. Gereja Katolik menyusun aturan berpuasa yakni: satu kali makan kenyang dan dua kali makan sedikit saja dalam sehari. Hal ini mengarahkan orang untuk berhemat dan menahan diri dari hawa nafsu. Bahkan tidak sedikit Gereja-gereja oikumenikal yang mempermaklumkan umat-Nya berpuasa. Jadi berpuasa adalah ibadah personal yang lazim dilakukan oleh orang Kristen secara suka rela.
Selain sebagai disiplin penyadaran akan lemahnya diri, puasa memiliki hikmah sebagai sarana pengendalian diri dari keserakahan dan ketergantungan pada jasmani. Semuanya dilakukan dalam rangka melatih hidup keagamaan yang lebih baik. Pengendalian diri bertujuan agar Gereja (atau “yang berpuasa”) tidak lepas kendali. Gereja harus mampu menahan diri dari nafsu jasmani dan keinginan daging. Itulah sebabnya puasa – baik di kalangan Kristen maupun dalam Islam – selalu diikuti dengan derma atau zakat, yang olehnya ibadah puasa memperoleh bobotnya dan menjadi berkat. Puasa tanpa kontrol diri atau puasa yang diikuti dengan pesta pora, dan puasa tanpa derma, adalah puasa yang tidak menjadi berkat.

Daftar pustaka
da Cunha, Bosco, Merayakan Karya Penyelamatan: dalam Kerangka Tahun Liturgi., 1992, h 30.
Dix, Dom Gregory, The Shape of the Liturgy, 1945.
Heuken, Adolf, Puasa, Ensiklopedi Gereja IV. Yayasan Cipta Loka Caraka 1994, h 52-53.
Kraus, Hans-Joachim Kraus, Worship in Israel: a Cultic History of the Old Testament. Terj.: Geoffrey Buswell, 1966.
Myers, Allen C. (ed), The Eerdmans Bible Dictionary: Fasting, 1987, h 377.
OMF, Puasa, berpuasa, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II. 1995, h 280.
Petry, Ray C. (ed), A History of Christianity: Readings in the History of the Early and Medieval Church, 1962.
Pidada, Ida Ayu Utami, Makna Puasa dalam Praktek dan Tradisi, KOMPAS 260 tahun ke-31, Rabu, 20 Maret 1996, h 4-5.
Wakefield, Gordon S., The Westminster Dictionary of Christianity Spirituality, David Tripp: Fasting, 1983, h 147-148.