Kamis, Mei 29, 2008

BUNDA TERESA

MUJIZAT KEMANUSIAAN ABAD KE-20


Oleh : Rasid Rachman

Menyaksikan film Teresa kita menyaksikan salah satu keajaiban (mujizat) di abad ke-20 adalah Bunda Teresa dari Kolkata. Beberapa adegan di dalamnya membuat kita terkesima dan terkagum-kagum. Namun film masih ada batasnya. Kita akan lebih terkesima dan terkagum jika langsung terjun ke dalam pelayanan di pusat-pusat pelayanan Bunda Teresa yang dikelola oleh Misionaris Cintakasih (Missionaries of Charity) atau MC.
Konsentrasi pelayanan MC pada poorest of the poor, menyebabkan Takhta Suci Vatikan mengabulkan proposal pendirian ordo baru ini pada abad ke-20. Dewasa ini banyak relawan dari mancanegara melibatkan diri dalam pelayanan MC di Kolkata. Sepanjang tahun, silih berganti relawan, baik muda maupun usia menengah melibatkan diri bersama para suster-bruder MC mengurus para pasien di pusat-pusat pelayanan MC.
Beberapa pusat pelayanan (centres) yang mengundang keterlibatan relawan, yaitu: Kalighat, Prem Dan, Shanti Dan, Shisubavan. Saya mengambil pelayanan di Pram Dan.
Kerja di Prem Dan hanya dilakukan pada pagi hari. Suster Nirmala Maria, MC adalah orang pertama yang menjelaskan kepada saya tentang arti nama itu. Prem berarti love dan Dan berarti gift. Prem Dan berarti Gift of Love. Lokasi Prem Dan cukup luas. Tidak seperti Kalighat yang hanya terdiri dari satu gedung, Prem Dan terdiri dari beberapa gedung besar untuk bangsal pasien dan dapur, halaman luas, kapel, dan kandang hewan. Kesan saya, Prem Dan laksana desa kecil.
Setelah sarapan di Mother’s House, sekitar pukul 07.30 kelompok kerja Prem Dan berangkat. Sebagian orang memilih naik bis dengan tarif Rs 3,00, dan sebagian lainnya berjalan kaki selama sekitar 30 menit. Prem Dan adalah tempat pelayanan dan penampungan orang dewasa yang mengalami cacat fisik, cacat mental, polio, sakit kulit dan luka luar lainnya. Secara mental, kerja relawan di Prem Dan tidak seberat di Kalighat, hanya secara fisik memang cukup berat.
Ada sekitar 100 pasien pria dan 50 pasien perempuan. Sebagian besar pasien tetap harus dilayani karena lumpuh sama sekali. Hanya sebagian pasien yang mampu mengurus dirinya sendiri dan sebagian kecil pasien yang dapat memberi pertolo­ngan pada sesama pasien lain untuk keperluaan ringan sesehari; itu pun dengan pengawasan. Sebagaimana di pusat-pusat pelayanan lainnya, relawan pria bekerja di bangsal pasien pria dan relawan perempuan bekerja di bangsal pasien perempuan.
Kerja dimulai pada pukul 08.00. Sekitar satu jam pertama kami menyapu, meny­i­ram lantai bangsal, dan membersihkan tempat tidur pasien. Tampaknya mudah dan ringan. Namun jangan bayangkan pekerjaan tersebut sejajar dengan member­sih­kan kamar tidur di rumah sendiri. Sebelum menyapu, bale-bale besi disusun dahulu di satu tempat. Selain tempatnya lebih besar daripada kamar tidur, kotoran lantai yang harus dibersihkan pun berasal dari berbagai jenis termasuk kotoran manusia. Maklum sebagian besar pasien Prem Dan mengalami cacat lumpuh, buta, patah tulang kaki, tuna wicara, dan polio. Tidak sedikit dari mereka yang menderita sekaligus 2-3 cacat. Bagaimana kalau mereka perlu sesuatu yang mendesak ketika petugas tidak ada. Petugas dan suster yang menetap di Prem Dan yang luas itu hanya sekitar 15-20 orang, padahal pekerjaan begitu banyak, bukan hanya mengurus 150-an pasien. Hari pertama saya di Prem Dan, ketika kami sedang menyiram lantai, tiba-tiba di dekat kami ada seorang pasien tua yang terjatuh dari kursi rodanya dan tergeletak di lantai basah. Tidak ada yang melihatnya. Hanya seorang relawan dari Swedia dan saya. Kami buru-buru menghampiri pasien yang ternyata bisu dan sangat kurus itu. Dengan sangat berhati-hati kami berdua mengangkatnya dan meletakannya kembali ke kursi rodanya. Ternyata sebelum jatuh, entah berapa lama sebelumnya, dia sudah kencing. Di dalam tubuhnya sendiri ada luka bernanah yang cukup besar, sehingga nanahnya berlepotan di sarungnya bercampur air kencing dan sedikit tinja. Baunya minta ampun. Tentu saja kami tidak mengenakan sarung tangan dan masker ketika membersihkan lantai, dan tidak perlu pula mengenakannya dahulu untuk mengangkat orang terjatuh dari kursi roda. Orang itu memerlukan pertolongan. Hari-hari berikutnya, pengalaman seperti itu sudah menjadi hal biasa.
Saya membayangkan bagaimana bentuk pelayanan semacam itu melahirkan spiritualitas kasih dan kesetiaan menjalan­kan panggilan Tuhan secara tulus pada Bunda Teresa. Dia berada di antara ratusan orang sakit dan cacat yang kondisinya jauh lebih parah. Kasih memang bukan komoditas khotbah, melainkan perbuatan. Bagi Bunda Teresa, bahkan iman sekalipun bukan tujuan akhir hidup berspiritualitas, melainkan awal suatu perbuatan.


The fruit of Silence is Prayer
The fruit of Prayer is Faith
The fruit of Faith is Love
The fruit of Love is Service
The fruit of Service is Peace

Panggilannya bukan pada menolong orang sakit, tetapi mereka yang menjadi sendiri-sepi karena sakitnya, dari kaum termiskin dari orang miskin.
Kamis adalah hari libur resmi bagi para relawan. Biasanya, Mother’s House menyelenggarakan acara perkunjungan ke salah satu pusat pelayanan mereka sambil memperkenalkan spiritualitas Bunda Teresa. Selain hari libur dan jalan-jalan, Kamis tentu merupakan kesempatan besar bagi saya untuk menimba sebanyak mungkin disiplin spiritualitas Bunda Teresa. Suatu Kamis, saya ikut ke Titagarh, pusat rehabilitasi lepra yang dikelola oleh Missionaries of Charity. Ada sekitar 100 penderita, sebagian bekerja menenun, sebagian masih terbaring. Tempat itu sendiri bersih, jauh dari dugaan saya sebelum berkunjung. Semula saya bepikir, orang lepra adalah orang yang sangat menderita hanya karena sakitnya. Namun, spirit Bunda Teresa membuka mata saya bahwa mereka adalah orang yang ditolak dan menjadi sendiri karena sakitnya. Seorang penderita, Jehangir, sekitar 50 tahun dari negara bagian Bihar, mengisah­kan demikian: “Hanya satu kali dalam sembilan tahun ini aku pulang ke rumah. Aku mengendap-endap masuk ke rumahku sendiri seperti maling. Tidak akan aku membiarkan orang-orang sekampungku melihatku. Ayahku hanya dapat menangis melihatku. Istriku tidak mungkin lagi dekat-dekat denganku. Dua anak perempuanku yang masih kecil bergelantungan dan menciumi aku. Mereka belum belajar akan rasa takut. Aku sangat rindu untuk pulang, namun aku harus merelakan keluargaku hidup secara normal. Jika orang-orang sekampungku menge­tahui aku menderita lepra, siapa yang mau menikahi anak-anak perempuanku?”
Kisah tersebut saya baca dari buku tentang Mother Teresa ketika sedang sendiri, jauh dari keluarga. Oleh karena saya mengambil pelayanan pagi saja, maka setelah istirahat siang, saya berpeluang membaca buku. Buku tersebut saya baca di saat luang sore hari. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Jehangir dan banyak penderita kusta lainnya tertolak oleh keluarga dan masyarakatnya sendiri. Belum lagi menyaksikan ratusan anak yang dibuang oleh orangtuanya. Sebagian dari mereka menghuni Sishu Bawan. Hausnya anak-anak itu akan kasih sayang tampak begitu para relawan memasuki area mereka. Seorang relawan digelendoti oleh beberapa anak sekaligus. Mereka minta bermain.
Di Kamis yang lain, saya mengikuti program spiritualitas Bunda Teresa di Shanti Dan, masih di Kolkata. Lokasi Shanti Dan (gift of peace) lebih luas daripada Prem Dan. Betul-betul seperti perkampungan tersendiri. Di sana ada penampungan anak-anak yang menderita sakit berat (di antaranya TBC), sekitar 150-an mantan narapidana perempuan, dan beberapa penderita AIDS. Romo Debello dari Kanada (kebetulan dia adalah salah seorang murid Anthony de Mello dari India) menghantar kami keliling untuk bertemu dengan orang-orang yang sebetulnya tidak perlu diasingkan oleh masyarakat.
Sebagai relawan, saya mengeluar­kan banyak biaya, waktu, kesempatan bersenang-senang dengan keluarga, dan mengorbankan sebagian waktu cuti. Para suster dan bruder Missionaries of Charity pun tahu hal itu, bahwasanya para relawan yang bekerja di Mother’s House telah mengeluarkan dan mengor­ban­kan banyak hal untuk tiba di sana., termasuk waktu bersenang-senang di negeri asing. Namun, mengapa kami tetap memilih menjadi relawan? Tidak sedikit wisatawan yang datang ke Kolkata hanya ingin menjadi relawan di MC. Bahkan beberapa relawan menjadi betah bekerja di sana; ada yang sudah 4 bulan menjadi relawan. Relawan yang membantu memberikan briefing kepada kami sudah menjadi relawan selama 14 bulan. Jawabannya, sebab saya atau kami, para relawan, justru mem­peroleh lebih banyak hal yang tak ternilai dari spiritualitas Bunda Teresa. Sesungguhnya, bukan kami yang memberi, melainkan Bunda Teresa yang memberi, kami mendapat. Selain pengalaman spiritualitas, kami dapat bertemu dengan sesama relawan dari manca negara. Tanpa undangan, janjian, batas waktu, prosedur pendaftaran, dan seleksi, Bunda Teresa telah membuat kami berkumpul dan bertemu. Bukan hanya lain bangsa, tetapi juga etnis, bahasa, budaya, agama, dogma, kepercayaan, dan sebagainya. Saat itu ada sekitar 100 relawan yang berkumpul dan bekerja sama. Suatu pengalaman beroikumene yang besar, tanpa embel-embel suara denominasi dan doktrin aliran tertentu. Bahkan kedudukan dan pangkat tidak lagi diperhitungkan, sebab semuanya datang untuk bekerja – siapa pun dan apa pun dia.
Menjadi relawan MC adalah pelatihan disiplin spiritualitas dan pemu­lihan motivasi, sambil mengisi liburan. Bertahun-tahun bekerja untuk diri sendiri telah menguras banyak segi dan idealisme panggilan semula. Tak heran, kerja menimbulkan kejenuhan dan stres. Hal-hal praktis dan pemecahan masalah secara pragmatis seringkali meninabobokan saya untuk tidak perlu lagi berpikir jauh dan dalam. Mengambil waktu beberapa pekan di Kolkata telah membangkitkan kembali semangat bekerja rutin tersebut. Bahwa­sa­nya spiritualitas bukan sekadar setumpuk teori, tetapi melakukan perbuatan yang bermakna bagi orang lain. Dengan demikian, kita menemukan kembali makna hidup sendiri yang selama ini mungkin tenggelam di dalam rutinitas dan kenik­ma­tan. °

*) Ini adalah makalah untuk Presentasi Spiritualitas Bunda Teresa di Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Barat, di GKI Sutopo-Tangerang, Februari 2007.