Minggu, Desember 06, 2009

MASA KINI BAGI MASA DEPAN

Oleh: Rasid Rachman

Kata iklan: “Keajaiban tidak terjadi seketika.”
Kata saya: “Amin!”
Seorang teman bermain waktu kecil fasih berbicara dalam 3 bahasa asing: Inggris, Mandarin, dan Perancis. Itu diperolehnya ketika dia baru 17 tahun. Wao ...! Saya bertanya (waktu itu): “Untung ya kamu dapat mujizat seperti itu.” Dia segera menjawab: “Bukan mujizat, tetapi belajar setengah mati dan setengah terpaksa.” Orangtuanya agak memaksa anak-anaknya untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Waktu itu, dia masih anak-anak, belum tahu faedahnya. Kemudian baru dia sadar bahwa dia menjadi lebih beruntung dibanding teman-teman sebayanya.
Seorang guru musik saya bersaksi bahwa dia dapat bermain piano ketika menjadi pengungsi. Pada Perang Dunia II di Eropa, keluarganya mengungsi ke rumah bibinya. Di rumah itu, mereka aman dari perang, namun tidak dapat bebas keluar rumah. Dalam mengisi hari-harinya, ibunya mengajarkan bermain piano. Blessing in disguise, ia menjadi guru musik gereja hingga saat ini.
Intinya, keajaiban tidak (ada yang) terjadi seketika.
Lantas, bagaimana dengan kesialan? Apesnya, kesialan juga (seringkali) tidak terjadi seketika. Setidaknya demikian refleksi penulis kitab Ratapan dalam Perjanjian Lama. Penderitaan umat Israel di zaman penulis Ratapan adalah karena ulah nenek moyang mereka yang melawan Allah. Nenek moyang yang berbuat ulah, anak-cucu yang menanggung dosa. Ulah nenek moyang melawan Allah begitu luar biasa, penderitaan yang ditanggung anak-cucu Israel pun begitu dahsyat. Banyak anak menderita karena ulah orangtua. Anak menjadi malu, atau sakit hati, atau luka batin, atau bahkan cacat disebabkan oleh ulah orangtua.
Banyak generasi kini yang menanggung dosa generasi sebelumnya. Hutang2 luar negeri yang tak terbayarkan karena beban hutang itu berlaku hingga 50 atau 100 tahun. Penyakit kurang gizi yang ditanggung oleh si anak selama hidup dan kemudian menjadi beban masyarakat setelah 15 tahun, ketika si anak beranjak dewasa. Mental korupsi, ketidakjujuran, pengecut, cuci tangan, melarikan diri dari tanggungjawab, yang "diturunalihkan" akan menciptakan generasi cacat moral kemudian hari.
Pesannya adalah: hati-hatilah mengisi hidup yang sekarang ini. Segala yang kita lakukan kini, dapat menjadi berkat atau laknat bagi masa depan kita atau bahkan bagi anak-cucu kelak. ©

Kamis, November 05, 2009

FACE TOWARD EAST

By Rasid Rachman

Ezekiel 47:1 (RSV)
Then he brought me back to the door of the temple; and behold, water was issuing from below and threshold of the temple toward the east (for the temple faced east); and the water was flowing down from below the south end of the threshold of the temple, south of the altar.

Today I will not speak about the messages of the bible. But I will speak about the information that be announced by one verse of Ezekiel and tradition of Christianity. I will speak that face to east have been common for long-long time ago in tradition.
Face to or direction to are well known by Indonesian people as the custom of Moslem prayer. We call it kiblat, or qibla. When Moslems prayer, they face to Mecca. Mecca is the direction or qibla. Our Holy Bible announces us that Israelites prayer face to east as well. Daniel prayed with his face to Jerusalem. Daniel 6:10 (RSV) wrote that “Daniel went to his house where he had windows in his upper chamber open toward Jerusalem.” Why did he face to Jerusalem? Because, there was the temple of God in Jerusalem. And the temple, according to the Ezekiel, face to east. It means people prayer toward east. The direction while prayer has become a custom of Christianity commonly.
East is the symbol of messiah. Messiah will come from east, so called the ancient believe. That’s why, ancient people, included Israelites, who are waiting for the messiah coming face their prayer to east.
In New Testament era and Patristic era, Christianity reinterpreted the meaning of east. East was not only for the messiah coming, but also symbolized the resurrection of the Lord. The sunrise means the resurrection. Christians pray with faces to east. Ancient churches were built in direction to east as well as the position of baptistery. Some desert monks in ancient Egypt face to east during prayer on every Saturday and Sunday. Some Church buildings in Indonesia, those are mostly Roman Catholic, built face to east as well, such as Cathedral Jakarta and Gedono Chapel at Salatiga. East as the direction of prayer is common for Christian tradition.
East also the place where sun rise every morning. Malachi 4:2 (RSV) said that “the sun of righteousness shall rise”. What or who is the sun of righteousness? That is Lord who will judge His people at the Lords day. In another word, Jewish and Christian traditions have made the similarity between sun and the Lord.
That mention brings implication in praxis of world point of view. The day of the Lord (Rev 1:10 “Kyriake emera” RSV) or the first day in week or Ehad in Hebrew changed to Sunday. Some languages in the world call Sunday or the day of the sun, such as English, Dutch, Netherlands, other languages call first day of the week, such as Arabic and Hebrew, and others call the day of the Lord, such as Portugal, Italy, France, and Indonesia.
I hope this explanation may open our mind about symbolization of place and similarity of other religion. ˚

Jumat, Oktober 30, 2009

RUTIN DAN RUTINITAS

Oleh: Rasid Rachman



Salah satu hal yang paling ditakuti orang adalah rutinitas. Lihat dan perhatikan saja percakapan-percakapan sesama rekan Pendeta dan rohaniwan, guru-guru sekolah, manajer dan direktur di perusahaan, ibu-ibu rumah tangga, bahkan anak-anak sekolah. Rutinitas adalah nama, istilah, terminologi yang sering dihindari oleh banyak orang di zaman ini. Kata ini menimbulkan konotasi membosankan. Ia menciptakan momok atau bahkan mimpi buruk bagi sebagian orang.

“Apa kesibukanmu hari ini?” tanya seseorang.
“Yah, tidak ada yang istimewa. Rutin-rutin saja,” jawab seorang temannya.

Percakapan sederhana dan lazim tersebut merupakan contoh yang memperlihatkan bahwa rutinitas bukan sesuatu yang besar, luar biasa, atau istimewa.
Jadi, bagaimana mungkin dari hal yang sangat biasa itu, yakni rutinitas, muncul sesuatu yang luar biasa semacam eureka atau big bang. Untuk mulai melakukan yang rutin hari itu saja sudah melelahkan, apalagi berkreasi dengann rutinitas. Tapi cobalah memperhatikan alam semesta. Bukankah semuanya berjalan dengan rutin.
Rutin berarti berjalan sesuai prosedur yang teratur dan tidak berubah-ubah. Rutin berasal dari kata tour (Prancis), tornare (Latin), artinya: putaran, keliling, dan re (Latin), berarti: kembali, mengulang. Retour (Prancis), return (Inggris) berarti kembali ke jalan semula. Dengan kata lain, rutin adalah “perjalanan sesuai putaran waktu di tempat itu-itu saja.” Kata routine dalam bahasa Prancis dapat juga berarti latihan, kebiasaan, ketangkasan. Rutin juga dapat dilihat dari ritorno (Italia), artinya kembali. Dari kata ritorno tersebut muncul ingatan pada rituale, yakni ritual. Ritual (ri + allée) adalah mengerjakan terus itu-itu saja seperti halnya orang berjalan berputar. Seseorang menghayati ritus kepercayaannya, karena ia rutin melakukan ritus tersebut. Segala sesuatu yang dijalani dengan biasa (dengan teratur dan rutin) membuat kita terlatih dan menjadi tangkas.
Seseorang dapat menjadi atlet bulu tangkis oleh karena ia melakukan latihan begitu-begitu saja sesuai prosedur waktu. Ia tidak akan menjadi atlet bulu tangkis terlatih, apabila jadwal dan bentuk latihannya berbeda setiap saat – hari ini berlatih smash, besok berlatih memasukkan bola ke keranjang, lusa berlatih melompat dengan galah, dst. Atau pekan ini latihan 2 kali, pekan depan tidak latihan, pekan berikutnya latihan 6 kali, begitu seterus tanpa jadwal tetap. Tanpa latihan yang rutin, yakni menurut prosedur itu-itu saja, seseorang tidak akan menjadi atlet yang tangkas dan terlatih.
Selain hal yang berhubungan dengan atlet, dalam aktivitas dan hidup sesehari, rutinitas telah membantu kehidupan itu sendiri. Bayi bertumbuh karena rutin menjalani kehidupannya: kapan makan, kapan tidur, kapan bermain. Manusia menjadi sehat dan bergizi karena rutin menjalani kegiatannya: berolah raga teratur, makan teratur, istirahat teratur. Seseorang menjadi ahli karena ia mencintai satu subjek keahliannya. Kita masih hidup karena alam semesta berjalan sesuai prosedurnya secara rutin: surya bersinar di waktu pagi dan tenggelam waktu senja, musim berganti musim sesuai jadwal, tanaman mengeluarkan oksigen pada siang hari dan mengeluarkan karbon dioksida pada malam hari, bumu berputar mengikuti rotasinya, dsb. Air mengalir ke tempat lebih rendah, namun akan terjadi bencana banjir jika air merayap ke tempat lebih tinggi. Dengan demikian, rutinitas menciptakan kemajuan dan memelihara kehidupan. ©

Kamis, Juli 02, 2009

Kamis, April 30, 2009

MASA KINI TERHADAP MASA DEPAN

oleh: Rasid Rachman

Kata iklan: “Keajaiban tidak terjadi seketika.”
Kata saya: “Amin!”
Seorang teman bermain sewaktu kecil fasih berbicara dalam 3 bahasa: Inggris, Mandarin, dan Perancis. Itu diperolehnya ketika dia baru berusia 17 tahun. Wao ...! Saya bertanya (waktu itu): “Untung ya kamu dapat mujizat seperti itu.” Dia segera menjawab: “Bukan mujizat, tetapi belajar setengah mati dan setengah terpaksa.” Orangtuanya agak memaksa anak-anaknya untuk menguasai bahasa-bahasa tersebut. Waktu itu, dia masih anak-anak, belum tahu faedahnya. Kemudian baru dia sadar bahwa dia menjadi lebih beruntung dibanding teman-teman sebayanya. Intinya, keajaiban tidak (ada yang) terjadi seketika.
Bagaimana dengan kesialan? Apesnya, kesialan juga (seringkali) tidak terjadi seketika. Setidaknya demikian refleksi penulis kitab Ratapan. Penderitaan umat Israel di zaman penulis Ratapan adalah karena ulah nenek moyang mereka yang melawan Allah. Perlawanan mereka kepada Allah, mereka lakukan berulang kali selama 200 - 300 tahun. Akibat ulah mereka pun ditanggung oleh keturunan mereka yang kesekian. Nenek moyang yang berbuat ulah, anak-cucu yang menanggung dosa.
Pesannya adalah: hati-hatilah mengisi hidup yang sekarang ini. Segala yang kita lakukan kini, dapat menjadi berkat atau laknat bagi masa depan kita atau bahkan bagi anak-cucu kelak.

Senin, Februari 23, 2009

SPIRITUALITAS YANG MEMBANGUN PROGRAM PROGRAM YANG MEMBANGUN SPIRITUALITAS

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Topik spiritualitas semakin sering dikemukakan oleh kalangan gereja akhir-akhir ini. Sepuluh tahun lalu, topik spiritualitas ini banyak digunakan oleh kalangan eksekutif di beberapa perusahaan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Namun kini, para pejabat gereja dan aktivis pun belajar untuk menggali nilai-nilai spiritualitas dengan tujuan yang kurang lebih sama, yakni meningkatkan kinerja pelayanan sehingga para aktivis tidak melulu menyelesaikan tugas-tugas pelayanan. Hal ini wajar saja, karena memang sejak lama spiritualitas adalah terminologi yang digunakan dan bahkan dilahirkan oleh dunia gerejawi.
Dunia gerejawi yang dimaksud adalah monastik (tradisi hidup membiara). Gerakan monastik pada abad ke-3 adalah gerakan untuk kembali menyemangati (fervens) hidup Kristen setelah pembaptisan dan kemudian menjadi orang Kristen biasa. Yang ditolak sebenarnya bukan rutinitas, tetapi kerja monoton tanpa greget sebagai pendalaman dalam pelayanan. Sikap fervens menekankan semangat membara dalam menjadi pengikut Kristus.
Ada tujuh hal yang saya tarik dari tradisi monastik untuk nilai kepejabatan gerejawi, yaitu: ketiadaan, berpegang pada kaul, doa rutin, kerja tangan, biara sebagai sekolah, perziarahan, dan derma. Praksis monastik ini tidak akan saya uraikan, melainkan akan kita tarik intisarinya secara aplikatif untuk nilai-nilai spiritualitas para pejabat gereja.
Hal ini saya lakukan dengan mengingat bahwa ada beberapa perbedaan antara hidup membiara dan pelayanan di gereja, antara lain: para pelayan gereja tidak meninggalkan keluarga dan tinggal di klauster, sementara para rahib hidup meninggalkan keluarga dan tinggal di klauster; jabatan pelayan tidak seumur hidup-mati, sementara menjadi rahib adalah untuk seumur hidup; menjadi pelayan bagi beberapa orang adalah agak dipaksa, sementara menjadi rahib adalah keinginan besar yang lahir dari diri sendiri; dan pelayan Tuhan menjalankan misi gereja yang bersifat komunal-ekumenikal, sementara rahib menjalankan panggilan hidup personal. Dengan kata lain, saya lebih menekankan beraskese di luar tembok biara (innerwelische askese) bagi para pelayan gereja.

I. Mulai dari ketiadaan
Calon rahib ditempa dengan sejumlah tahap sebelum mengucapkan kaul. Segala macam pencobaan, penolakan, dan pengujian diberlakukan terhadapnya. Hasil pengujian, berbeda dengan ujian umumnya di mana seseorang menjadi lebih berbobot, tujuan ujian bagi rahib adalah agar menjadi seseorang yang nobody, bukan siapa-siapa.
Zaman sekarang sedang musim seseorang memiliki dan mengejar kesempurnaan. Pengusaha menyempurnakan diri dengan menjadi penguasa (pejabat pemerintah). Tokoh masyarakat mendapat gelar Doktor. Pengusaha juga berusaha menjadi alim-ulama, semisal Pendeta atau Majelis Besar, dsb. Gereja juga tergoda untuk memiliki kesempurnaan tampilannya, baik penyambutan jemaat maupun segala kemewahan sarana-prasarana. Ajaran Yesus tentang “orang muda yang ingin hidup kekal” sangat relevan untuk pengajaran tentang meraih kesempurnaan dengan melepaskan semuanya, karena kesempurnaan atau hidup kekal adalah dengan menjadi pengikut Kristus – bukan sekadar: mati, masuk sorga.
Menjalankan panggilan pelayanan dimulai dari ketiadaan atau kekosongan, bukan dari kebesaran, kehebatan, kelebihan. Tidak sedikit umat yang menjalankan pelayanannya dengan kebanggaan atau bahkan ambisi. Namun menjalani pelayanan adalah bukan menjalani panggilan kita, melainkan menjalani panggilan Yesus. Orang muda yang berinisiatif untuk hidup kekal (= meraih kesempurnaan setelah memiliki segala sesuatu: pengetahuan dan harta) dalam Matius 19:16-22, diajak Yesus untuk mengikut-Nya dengan melepaskan semuanya. “Juallah segala milikmu, berikanlah kepada orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari, dan ikutlah Aku,” kata Yesus. Orang itu bukan hanya miskin, tetapi juga hanya sekadar menjadi pengikut. Inisiatif kita perlu ditanggapi dengan memenuhi kehendak Tuhan, bukan kehendak pribadi.



II. Berpegang teguh pada kaul
Untuk menjadi rahib, seseorang melewati suatu pengujian bertahap. Namun untuk menjadi pelayan gereja biasanya terjadi agak otomatis (kecuali soal waktu setelah atestasi atau pembaptisan). Beberapa Jemaat atau Klasis telah memiliki jenjang pembinaan, namun sebagian besar Jemaat belum memiliki jenjang pembinaan. Jadi satu-satunya yang jelas dapat dipegang adalah ritus peneguhan Penatua atau penahbisan Pendeta.
Ritus peneguhan dan penahbisan bukan hanya diberlakukan bagi yang diteguhkan atau yang ditahbiskan. Ritus tersebut juga berlaku bagi para Penatua atau Pendeta pendahulu untuk membarui janji peneguhan atau penahbisannya pada waktu peneguhan penatua baru.
Ada dua formula yang selalu diulang dalam liturgi peneguhan, yaitu nyanyian “Pada-Mu, Yesus, Kami Serahkan” (KJ 319) dan formula peneguhan Penatua.
Nyanyian ini menyatakan bahwa panggilan pejabat gerejawi (orang terpilih dalam jemaat) adalah “untuk membina, menghibur, menghimbau, menjaga, dan menyatukan” umat. Jelas, ini menegaskan bahwa Penatua adalah gembala jemaat.
Janji peneguhan adalah komitmen setiap pelayan di rumah Tuhan. Janji itu, antara lain: melaksanakan pembangunan jemaat, menjaga ajaran gereja, perkunjungan pastoral, dan bekerja sama dengan segenap unsur dalam Jemaat. Ritus peneguhanlah yang membuat pelayan Gereja berjalan pada panggilan semula.

III. Doa rutin
Disiplin spiritualitas dijalani dengan ketaatan pada hal-hal rutin, terutama doa. Para rahib dikuatkan dalam doa-doa harian. Doa harian dirayakan 3-7 kali sehari (bnd Mzm 119:164). Doa-doa harian dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi motivator untuk orang melanjutkan kerjanya.
Suka berdoa adalah kunci pelayanan. Berdoa bukan karena kewajiban (sehingga selalu buru-buru dan sisa waktu untuk berdoa), melainkan karena kesukaan. Lakukanlah doa secara rutin dan di dalam keheningan. Di dalam berdoa, bukan kita yang berbicara kepada Allah. Berdoa di dalam keheningan yang dibantu dengan menyanyikan atau mengucapkan Mazmur-mazmur berarti membiarkan Allah berbicara kepada kita.
Kita seringkali alergi atau tabu dengan rutinitas, dengan alasan membosankan atau monoton. Hal-hal rutin bahkan sering dijadikan momok dalam kehidupan bergereja, sehingga dinomorduakan. Ibadah hari Minggu yang rutin mingguan, misalnya, inti ibadah memperingati kebangkitan Kristus, masih kurang mendapat perhatian teologis-praktis. Praksis para penyelenggara pun seringkali tidak terlalu serius menangani ibadah hari Minggu. Hal ini menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan perhatian jemaat terhadap ibadah istimewa atau ibadah-ibadah tahunan, semisal Natal atau sekadar HUT Jemaat.
Pelayanan sebagai Majelis Jemaat berhadapan dengan rutinitas. Rutin rapat, rutin mengurus adminstrasi, rutin mengatur ibadah, rutin mengingatkan, rutin memotivasi, rutin memilih panitia, dsb. Laksana axis mundi atau bor yang berputar pada titik poros, rutinitas memberikan kita pendalaman akan penghayatan. Seharusnya, semakin lama jabatan kepenatuaan, atau semakin sering seseorang menjadi Penatua, ia semakin cerdas, berhikmat, dan bijak menjalankan tugas-tugasnya.


IV. Kerja tangan dan karya sosial
Setelah doa rutin, maka kerja tangan adalah penting. Spiritualitas selalu berbentuk kegiatan dalam hal meningkatkan selebrasi dan aksi. Selebrasi berguna untuk menunjang penghayatan aksi, aksi berfungsi sebagai implementasi dari selebrasi.
Dalam Alkitab, Maria yang duduk bersimpuh di kaki Yesus mendapat kemuliaan karena Marta bekerja tangan di dapur. Yesus tidak mencela Marta yang bekerja, hanya mengatakan bahwa Marta tidak dapat memilih bagian yang ditentukan baginya; ia bersungut-sungut.
Kerja tangan hendaknya menjadi gaya hidup setiap umat dalam gereja guna mengimbangi aktivitas kerohanian atau gerejawi. Biasanya kita berpikir bahwa umat hanya perlu meramaikan kegiatan gereja, sementara kerja tangan diserahkan sepenuhnya kepada para petugas dan karyawan. Tantangan kita adalah menjadikan kerja tangan sebagai latihan spiritualitas dan gaya hidup. Moto: “kalau hendak berdoa, yah siapkanlah sendiri segala keperluannya.” Umat, siapa pun dia dan apa pun statusnya di masyarakat, menyiapkan kursi, tata ruang, membersihkan lantai, dsb. bersama para karyawan gereja. Umat bekerja mencari dana untuk menunjang kegiatannya – bukan minta-minta sumbangan – adalah hal positif untuk membangun kehidupan spiritualitas. Pokoknya, kerja tangan tidak dipandang hina dalam askese spiritualitas.

V. Biara sebagai sekolah
Panggilan spiritualitas monastik menjadikan biara sebagai schola, tempat setiap rahib ditempa dengan panggilan menjadi pengikut Kristus. Belajar dari Lukas 14:25-33 bahwa mengikut Kristus berarti “selalu belajar mulai dari ketiadaan apa pun dan siapa pun” laksana seorang murid. Biara adalah tempat belajar seumur hidup bagi rahib dalam menghayati arti mengikut Kristus.
Masa pelayanan kepenatuaan adalah baik jika dipahami sebagai masa pembelajaran dalam mengikut Kristus. Bukan dengan yang ada, melainkan dengan pengosongan diri secara radikal (“Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci [μισεί = membenci, mengabaikan] bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”). Respons Yesus terhadap orang banyak yang mengikuti-Nya berbeda. Bukan sekadar mengikut Yesus, tetapi menjadi murid Yesus. Harga untuk mengikut Yesus sangat mahal – yakni melepaskan semuanya, memikul salib, dan menyangkal diri – maka sebaiknya pertimbangkan masak-masak.
Menjalani masa pelayanan adalah latihan rohani hari demi hari. Hakikat murid adalah suka belajar, berlatih, dan tidak kalah mental karena satu-dua kali kesalahan. Masa pelayanan yang terbatas hendaknya digunakan oleh para pelayan sebagai wahana pembelajaran.
Lawan dari “benci” adalah “cinta”. Seseorang tidak akan dapat menjadi pengikut dan murid Yesus jika cinta kepada yang lain-lain masih lebih besar daripada cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan adalah awal dari seluruh pelayanan kita.



VI. Bergereja sebagai perziarahan mengikut Yesus

Ajakan Yesus: “Mari, ikutlah Aku” merupakan ajakan tanpa target dan batas waktu. Yesus tidak menuntut kita untuk hadir di gereja beberapa jam seminggu, tidak terlambat datang bertugas ibadah, mampu berkhotbah dalam 2 tahun, dsb. Yesus cuma memanggil: “Mari, ikutlah Aku.” Namun sSampai di mana? Sampai kapan? Sampai apa?, tidak ada batas waktunya atau targetnya.
Pelayan Tuhan menghayati kecintaannya kepada Tuhan dengan menjadi pengikut Yesus terus-menerus seumur hidup. Jabatan kepenatuaan ada batas waktunya, kependetaan pun demikian. Namun pelayan yang mengikuti Yesus tetap melayani sekalipun tidak berjabatan. Mantan pejabat gereja tetap menjalankan pembangunan jemaat, turut serta di dalam keutuhan tubuh Kristus.

VII. Derma: dari terpaksa menjadi biasa
Gereja kita seringkali mendapat surat permintaan sumbangan. “Orang miskin selalu ada padamu,” kata Yesus. Sekitar 10 % materi PMJ adalah permintaan sumbangan. Jangan jemu-jemu menolong dan berbuat baik!
Memang harus waspada, supaya tidak menjadi objek pemerasan dan penipuan, namun berbuat baik adalah penting dalam hidup spiritualitas. “Apa pun yang kamu lakukan bagi salah seorang yang paling hina, kamu melakukannya untuk Aku,” kata Yesus. Tolonglah mereka yang membutuhkan pertolongan seperti menolong Tuhan sendiri.
Mereka yang suka menolong hampir pasti pernah menjadi korban penipuan orang yang berpura-pura. Penipuan atau kerugiaan tersebut hendaknya tidak menjadi alasan untuk menutup pintu pertolongan kepada siapa pun. Demikian arti dari “Tidak jemu-jemu menolong dan berbuat baik!”

Jumat, Januari 02, 2009

TIP

Oleh: Rasid Rachman

Orang Kolkata biasa meminta tip, upah ekstra. Pelayan restoran, petugas penginapan, sopir taksi, semua minta tip. Minta tip bahkan tanpa malu-malu lagi. Sehabis makan, atau sehabis menginap, pramusaji dan petugas hotel memberikan kode menjentikan jari telunjuk dan jari tengah, lalu berkata: “My tip.”
Sopir taksi minta tip, hampir pasti. Setibanya saya di bandara Kolkata, hampir tengah malam, saya membeli tiket prepaid taxi. Ketika tiket bukti tersebut saya berikan kepada sopir taksi yang sedianya membawa saya ke penginapan, sebelum mesin mobil dihidupkan dia berkata:
Sopir: “Pak, lihat, sekarang hujan besar.” (cari-cari alasan)
Saya : “Ya, lantas apa masalahnya?”
Sopir: “Hotel masih jauh, dan sekarang hujan lebat.”
Saya : (tetap bertahan) “Saya tahu sekarang hujan. Tapi kita kan di mobil. Mobil ini berfungsi, bukan?
Sopir: “Saya perlu tambahan ongkos.”
Saya : “Lho …!” (tapi segera saya sadar posisi saya. Tiket prepaid saya sudah diambilnya, tengah malam, lelah sekali, banyak barang, baru tiba di negeri asing) “Ya sudah, berapa kamu minta.”
Sopir: “Seratus Rupee.”

Saya menyewa dormitory untuk tempat saya selama di Kolkata. Sebenarnya tempat saya tersebut nyaman dan aman. Tertutup bagi masuknya orang-orang luar ke dalam kompleks. Dormitory itu dikelola oleh keluarga. Begitu amannya, kamar yang berisi empat ranjang – berarti dapat diisi oleh empat tamu menginap yang tidak saling kenal sebelumnya – tidak pernah terkunci, baik ketika saya di dalam maupun pergi. Aman. Namun, sebelum saya pulang, ayah dari keluarga pengelola rumah itu meminta tip: “My tip, sir.” Buset, kata batin saya: “Kamu kan manajer ...!?”

Begitulah Kolkata. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan kota Jakarta menyambut orang asing dan orang tidak asing. 