Senin, Februari 23, 2009

SPIRITUALITAS YANG MEMBANGUN PROGRAM PROGRAM YANG MEMBANGUN SPIRITUALITAS

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Topik spiritualitas semakin sering dikemukakan oleh kalangan gereja akhir-akhir ini. Sepuluh tahun lalu, topik spiritualitas ini banyak digunakan oleh kalangan eksekutif di beberapa perusahaan untuk meningkatkan kinerja karyawan. Namun kini, para pejabat gereja dan aktivis pun belajar untuk menggali nilai-nilai spiritualitas dengan tujuan yang kurang lebih sama, yakni meningkatkan kinerja pelayanan sehingga para aktivis tidak melulu menyelesaikan tugas-tugas pelayanan. Hal ini wajar saja, karena memang sejak lama spiritualitas adalah terminologi yang digunakan dan bahkan dilahirkan oleh dunia gerejawi.
Dunia gerejawi yang dimaksud adalah monastik (tradisi hidup membiara). Gerakan monastik pada abad ke-3 adalah gerakan untuk kembali menyemangati (fervens) hidup Kristen setelah pembaptisan dan kemudian menjadi orang Kristen biasa. Yang ditolak sebenarnya bukan rutinitas, tetapi kerja monoton tanpa greget sebagai pendalaman dalam pelayanan. Sikap fervens menekankan semangat membara dalam menjadi pengikut Kristus.
Ada tujuh hal yang saya tarik dari tradisi monastik untuk nilai kepejabatan gerejawi, yaitu: ketiadaan, berpegang pada kaul, doa rutin, kerja tangan, biara sebagai sekolah, perziarahan, dan derma. Praksis monastik ini tidak akan saya uraikan, melainkan akan kita tarik intisarinya secara aplikatif untuk nilai-nilai spiritualitas para pejabat gereja.
Hal ini saya lakukan dengan mengingat bahwa ada beberapa perbedaan antara hidup membiara dan pelayanan di gereja, antara lain: para pelayan gereja tidak meninggalkan keluarga dan tinggal di klauster, sementara para rahib hidup meninggalkan keluarga dan tinggal di klauster; jabatan pelayan tidak seumur hidup-mati, sementara menjadi rahib adalah untuk seumur hidup; menjadi pelayan bagi beberapa orang adalah agak dipaksa, sementara menjadi rahib adalah keinginan besar yang lahir dari diri sendiri; dan pelayan Tuhan menjalankan misi gereja yang bersifat komunal-ekumenikal, sementara rahib menjalankan panggilan hidup personal. Dengan kata lain, saya lebih menekankan beraskese di luar tembok biara (innerwelische askese) bagi para pelayan gereja.

I. Mulai dari ketiadaan
Calon rahib ditempa dengan sejumlah tahap sebelum mengucapkan kaul. Segala macam pencobaan, penolakan, dan pengujian diberlakukan terhadapnya. Hasil pengujian, berbeda dengan ujian umumnya di mana seseorang menjadi lebih berbobot, tujuan ujian bagi rahib adalah agar menjadi seseorang yang nobody, bukan siapa-siapa.
Zaman sekarang sedang musim seseorang memiliki dan mengejar kesempurnaan. Pengusaha menyempurnakan diri dengan menjadi penguasa (pejabat pemerintah). Tokoh masyarakat mendapat gelar Doktor. Pengusaha juga berusaha menjadi alim-ulama, semisal Pendeta atau Majelis Besar, dsb. Gereja juga tergoda untuk memiliki kesempurnaan tampilannya, baik penyambutan jemaat maupun segala kemewahan sarana-prasarana. Ajaran Yesus tentang “orang muda yang ingin hidup kekal” sangat relevan untuk pengajaran tentang meraih kesempurnaan dengan melepaskan semuanya, karena kesempurnaan atau hidup kekal adalah dengan menjadi pengikut Kristus – bukan sekadar: mati, masuk sorga.
Menjalankan panggilan pelayanan dimulai dari ketiadaan atau kekosongan, bukan dari kebesaran, kehebatan, kelebihan. Tidak sedikit umat yang menjalankan pelayanannya dengan kebanggaan atau bahkan ambisi. Namun menjalani pelayanan adalah bukan menjalani panggilan kita, melainkan menjalani panggilan Yesus. Orang muda yang berinisiatif untuk hidup kekal (= meraih kesempurnaan setelah memiliki segala sesuatu: pengetahuan dan harta) dalam Matius 19:16-22, diajak Yesus untuk mengikut-Nya dengan melepaskan semuanya. “Juallah segala milikmu, berikanlah kepada orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari, dan ikutlah Aku,” kata Yesus. Orang itu bukan hanya miskin, tetapi juga hanya sekadar menjadi pengikut. Inisiatif kita perlu ditanggapi dengan memenuhi kehendak Tuhan, bukan kehendak pribadi.



II. Berpegang teguh pada kaul
Untuk menjadi rahib, seseorang melewati suatu pengujian bertahap. Namun untuk menjadi pelayan gereja biasanya terjadi agak otomatis (kecuali soal waktu setelah atestasi atau pembaptisan). Beberapa Jemaat atau Klasis telah memiliki jenjang pembinaan, namun sebagian besar Jemaat belum memiliki jenjang pembinaan. Jadi satu-satunya yang jelas dapat dipegang adalah ritus peneguhan Penatua atau penahbisan Pendeta.
Ritus peneguhan dan penahbisan bukan hanya diberlakukan bagi yang diteguhkan atau yang ditahbiskan. Ritus tersebut juga berlaku bagi para Penatua atau Pendeta pendahulu untuk membarui janji peneguhan atau penahbisannya pada waktu peneguhan penatua baru.
Ada dua formula yang selalu diulang dalam liturgi peneguhan, yaitu nyanyian “Pada-Mu, Yesus, Kami Serahkan” (KJ 319) dan formula peneguhan Penatua.
Nyanyian ini menyatakan bahwa panggilan pejabat gerejawi (orang terpilih dalam jemaat) adalah “untuk membina, menghibur, menghimbau, menjaga, dan menyatukan” umat. Jelas, ini menegaskan bahwa Penatua adalah gembala jemaat.
Janji peneguhan adalah komitmen setiap pelayan di rumah Tuhan. Janji itu, antara lain: melaksanakan pembangunan jemaat, menjaga ajaran gereja, perkunjungan pastoral, dan bekerja sama dengan segenap unsur dalam Jemaat. Ritus peneguhanlah yang membuat pelayan Gereja berjalan pada panggilan semula.

III. Doa rutin
Disiplin spiritualitas dijalani dengan ketaatan pada hal-hal rutin, terutama doa. Para rahib dikuatkan dalam doa-doa harian. Doa harian dirayakan 3-7 kali sehari (bnd Mzm 119:164). Doa-doa harian dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi motivator untuk orang melanjutkan kerjanya.
Suka berdoa adalah kunci pelayanan. Berdoa bukan karena kewajiban (sehingga selalu buru-buru dan sisa waktu untuk berdoa), melainkan karena kesukaan. Lakukanlah doa secara rutin dan di dalam keheningan. Di dalam berdoa, bukan kita yang berbicara kepada Allah. Berdoa di dalam keheningan yang dibantu dengan menyanyikan atau mengucapkan Mazmur-mazmur berarti membiarkan Allah berbicara kepada kita.
Kita seringkali alergi atau tabu dengan rutinitas, dengan alasan membosankan atau monoton. Hal-hal rutin bahkan sering dijadikan momok dalam kehidupan bergereja, sehingga dinomorduakan. Ibadah hari Minggu yang rutin mingguan, misalnya, inti ibadah memperingati kebangkitan Kristus, masih kurang mendapat perhatian teologis-praktis. Praksis para penyelenggara pun seringkali tidak terlalu serius menangani ibadah hari Minggu. Hal ini menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan perhatian jemaat terhadap ibadah istimewa atau ibadah-ibadah tahunan, semisal Natal atau sekadar HUT Jemaat.
Pelayanan sebagai Majelis Jemaat berhadapan dengan rutinitas. Rutin rapat, rutin mengurus adminstrasi, rutin mengatur ibadah, rutin mengingatkan, rutin memotivasi, rutin memilih panitia, dsb. Laksana axis mundi atau bor yang berputar pada titik poros, rutinitas memberikan kita pendalaman akan penghayatan. Seharusnya, semakin lama jabatan kepenatuaan, atau semakin sering seseorang menjadi Penatua, ia semakin cerdas, berhikmat, dan bijak menjalankan tugas-tugasnya.


IV. Kerja tangan dan karya sosial
Setelah doa rutin, maka kerja tangan adalah penting. Spiritualitas selalu berbentuk kegiatan dalam hal meningkatkan selebrasi dan aksi. Selebrasi berguna untuk menunjang penghayatan aksi, aksi berfungsi sebagai implementasi dari selebrasi.
Dalam Alkitab, Maria yang duduk bersimpuh di kaki Yesus mendapat kemuliaan karena Marta bekerja tangan di dapur. Yesus tidak mencela Marta yang bekerja, hanya mengatakan bahwa Marta tidak dapat memilih bagian yang ditentukan baginya; ia bersungut-sungut.
Kerja tangan hendaknya menjadi gaya hidup setiap umat dalam gereja guna mengimbangi aktivitas kerohanian atau gerejawi. Biasanya kita berpikir bahwa umat hanya perlu meramaikan kegiatan gereja, sementara kerja tangan diserahkan sepenuhnya kepada para petugas dan karyawan. Tantangan kita adalah menjadikan kerja tangan sebagai latihan spiritualitas dan gaya hidup. Moto: “kalau hendak berdoa, yah siapkanlah sendiri segala keperluannya.” Umat, siapa pun dia dan apa pun statusnya di masyarakat, menyiapkan kursi, tata ruang, membersihkan lantai, dsb. bersama para karyawan gereja. Umat bekerja mencari dana untuk menunjang kegiatannya – bukan minta-minta sumbangan – adalah hal positif untuk membangun kehidupan spiritualitas. Pokoknya, kerja tangan tidak dipandang hina dalam askese spiritualitas.

V. Biara sebagai sekolah
Panggilan spiritualitas monastik menjadikan biara sebagai schola, tempat setiap rahib ditempa dengan panggilan menjadi pengikut Kristus. Belajar dari Lukas 14:25-33 bahwa mengikut Kristus berarti “selalu belajar mulai dari ketiadaan apa pun dan siapa pun” laksana seorang murid. Biara adalah tempat belajar seumur hidup bagi rahib dalam menghayati arti mengikut Kristus.
Masa pelayanan kepenatuaan adalah baik jika dipahami sebagai masa pembelajaran dalam mengikut Kristus. Bukan dengan yang ada, melainkan dengan pengosongan diri secara radikal (“Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci [μισεί = membenci, mengabaikan] bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”). Respons Yesus terhadap orang banyak yang mengikuti-Nya berbeda. Bukan sekadar mengikut Yesus, tetapi menjadi murid Yesus. Harga untuk mengikut Yesus sangat mahal – yakni melepaskan semuanya, memikul salib, dan menyangkal diri – maka sebaiknya pertimbangkan masak-masak.
Menjalani masa pelayanan adalah latihan rohani hari demi hari. Hakikat murid adalah suka belajar, berlatih, dan tidak kalah mental karena satu-dua kali kesalahan. Masa pelayanan yang terbatas hendaknya digunakan oleh para pelayan sebagai wahana pembelajaran.
Lawan dari “benci” adalah “cinta”. Seseorang tidak akan dapat menjadi pengikut dan murid Yesus jika cinta kepada yang lain-lain masih lebih besar daripada cinta kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan adalah awal dari seluruh pelayanan kita.



VI. Bergereja sebagai perziarahan mengikut Yesus

Ajakan Yesus: “Mari, ikutlah Aku” merupakan ajakan tanpa target dan batas waktu. Yesus tidak menuntut kita untuk hadir di gereja beberapa jam seminggu, tidak terlambat datang bertugas ibadah, mampu berkhotbah dalam 2 tahun, dsb. Yesus cuma memanggil: “Mari, ikutlah Aku.” Namun sSampai di mana? Sampai kapan? Sampai apa?, tidak ada batas waktunya atau targetnya.
Pelayan Tuhan menghayati kecintaannya kepada Tuhan dengan menjadi pengikut Yesus terus-menerus seumur hidup. Jabatan kepenatuaan ada batas waktunya, kependetaan pun demikian. Namun pelayan yang mengikuti Yesus tetap melayani sekalipun tidak berjabatan. Mantan pejabat gereja tetap menjalankan pembangunan jemaat, turut serta di dalam keutuhan tubuh Kristus.

VII. Derma: dari terpaksa menjadi biasa
Gereja kita seringkali mendapat surat permintaan sumbangan. “Orang miskin selalu ada padamu,” kata Yesus. Sekitar 10 % materi PMJ adalah permintaan sumbangan. Jangan jemu-jemu menolong dan berbuat baik!
Memang harus waspada, supaya tidak menjadi objek pemerasan dan penipuan, namun berbuat baik adalah penting dalam hidup spiritualitas. “Apa pun yang kamu lakukan bagi salah seorang yang paling hina, kamu melakukannya untuk Aku,” kata Yesus. Tolonglah mereka yang membutuhkan pertolongan seperti menolong Tuhan sendiri.
Mereka yang suka menolong hampir pasti pernah menjadi korban penipuan orang yang berpura-pura. Penipuan atau kerugiaan tersebut hendaknya tidak menjadi alasan untuk menutup pintu pertolongan kepada siapa pun. Demikian arti dari “Tidak jemu-jemu menolong dan berbuat baik!”