Jumat, April 23, 2010

DALIL-DALIL BAGI PENDETA

PERCIKAN HIKMAT PDT.EM. BEN MALEAKHI

DALIL 6
Berkenaan dengan uang berlaku pegangan yang rumusannya begini:
Little is much when God is in it.
= jumlah yang kecil dapat berguna banyak kalau Allah ada di dalamnya.

Dalam soal uang sering kita terjebak ke dalam jumlahnya saja.
Kita tidak memikirkan penggunaannya.
Uang yang banyak akan habis, kalau kita memboroskannya.
Sebaliknya, uang yang sedikit akan cukup,
bahkan berlebih kalau kita menghematnya.
Dengan menghemat tentu berlaku juga batasan kewajaran.
Hemat yang wajar dan tidak menjadi kikir, dsb.
Apalagi, kalau Tuhan ikut serta di dalam pengaturan pemakaian itu.
Tentu hasilnya akan lebih baik lagi.
Rumus di atas mengatakan, yang sedikit dapat berguna banyak,
kalau Tuhan menyertainya. Di sini berlaku berkat Tuhan.
Dalam pemakaian uang itu, kalau Tuhan memberkatinya,
walau sedikit akan mencukupi. Kita memperoleh banyak,
kalau pengeluaran banyak akan habis juga.
Kalau Tuhan memberkati, walau mendapat sedikit,
pengeluaran tidak banyak, misalnya tidak ada yang sakit,
sebab itu tidak perlu pengeluaran yang berlebihan, dsb.

Saya teringat pada kesaksian Alkitab dalam Filipi 4:10-20
khususnya ayat 11 dan 19 yang berbunyi sbb.:
”Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan,
sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan
dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.”

Ada tiga daerah rawan bagi Pendeta.
Kalau ia ada di daerah rawan itu, maka sangat perlu berhati-hati.
Tidak otomatis akan jatuh, tetapi besar kemungkinan bisa jatuh.
Sebab itu, perlu berwaspada. Ketiga daerah rawan itu adalah sbb.:

Pertama: Uang
Menghadapi uang, Pendeta dan keluarga perlu berhati-hati.
Yang perlu dijaga adalah, jangan sampai ribut gara-gara uang atau materi.
Jangan menuntut, sehingga menimbulkan kesan kita amat terikat pada uang.
Tidak disangkal, bahwa kita memerlukan uang. Tetapi, cara mendapatkan
uang itu tidak merugikan kehormatan seorang Pendeta.
Sampaikan kebutuhanmu kepada Tuhan. Gumuli dalam doa.
Renungkan Matius 6:33, Filipi 4:10-20 dan ayat-ayat lain lagi.
Itu, bukan pegangan yang berlebihan. Juga tidak mengecewakan.
Tuhan senantiasa mencukupkan hamba-hamba-Nya.

Kedua: Wanita
Daerah rawan yang kedua adalah terlampau dekat dengan lawan jenis.
Bisa jatuh. Bisa juga difitnah. Kedua-duanya membawa masalah.
Lebih baik menjaga diri. Preventif jauh lebih baik daripada kuratif.
Menghindari jauh lebih baik daripada memperbaiki ketika kita sudah jatuh.

Ketiga: Ambisi
Ambisi sampai batas tertentu baik,
kalau berlebihan akan membawa diri sendiri pada pencobaan.
Sejajar dengan ambisi yang berlebihan adalah gengsi.
Harga diri baik dipertahankan,
tetapi memperbesar gengsi menyulitkan diri sendiri.
Lebih jauh dari gengsi adalah kesombongan, juga cepat tersinggung,
lalu menjadi pemarah, impulsive (meledak-ledak), mau menang sendiri, dsb.
Semua unsur itu merupakan usaha menggali kuburnya sendiri.

Itulah daerah-daerah rawan. Sebaiknya jangan dekat-dekat ke situ.
Pepatah mengatakan:
Main api tentu akan terbakar. Demikian juga main air pasti akan basah.

Kembali pada masalah uang dan materi pada umumnya.
Masih ada hal yang bisa dipercakapkan, yaitu begini:
Uang bukan hanya soal ekonomi. Uang adalah juga soal iman.
Cara mencari uang. Juga cara memakai uang adalah cerminan iman.
Dari cara mencari dan memakai uang
orang lain akan tahu bagaimana hubungan kita dengan Tuhan.
Sebab itu, tidak ada salahnya, kalau Pendeta berhati-hati,
namun tetap wajar terhadap tantangan uang atau materi.

Apakah komentar Anda?

Selasa, April 20, 2010

DALIL-DALIL BAGI PENDETA

PERCIKAN HIKMAT PDT.EM. BEN MALEAKHI

DALIL 5

Pakailah rumus tiga B dalam berkomunikasi:
Benar = tidak menyalahi apa pun
Baik = ada manfaatnya, besar gunanya
Bagus = saatnya tepat, caranya indah dan menyenangkan orang
Firman Tuhan yang akan dikutip di bawah ini mengingatkan Pendeta pada
ucapannya.
Ucapan itu diutarakan baik di mimbar, di depan orang banyak.
Atau, penuturan di dalam percakapan pastoral orang per orang.
Ucapan Pendeta hendaknya berisikan firman-Nya, menyalurkan kasih,
melahirkan kehangatan persekutuan.

"Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih,
jangan hambar sehingga kamu tahu,
bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang." (Kol 4:6)

Saluran komunikasi yang bermuatan wibawa firman Tuhan itu
akan lebih mudah dikendalikan bilamana kita memperhatikan rumus tiga B,
yaitu:

Benar = dalam percakapan dijaga jangan sampai melanggar suatu norma.
Mulai dari norma yang dianut semua orang (aspek budaya, tradisi).
Demikian pula, norma yang berdasarkan firman Tuhan.
B yang pertama ini sangat penting,
namun masih perlu diperhatikan dua B lainnya, yaitu:

Baik = isi percakapan yang bermuatan normatif itu perlu disampaikan
pada alamat yang tepat, agar memberikan hasil yang memuaskan.
Hal serupa perlu dikenakan juga ketika Pendeta mengutarakan gagasannya,
usulnya, atau tanggapannya terhadap gagasan orang lain.
Ketika itu, ia perlu bertanya pada dirinya sendiri,
apakah pelontaran kata-katanya itu bermanfaat bagi orang banyak.

Bagus = kalau kedua B di atas telah matang disiapkan,
maka jangan terlalu cepat menganggap sudah selesai.
Masih ada B yang lain lagi, yaitu BAGUS.
Artinya, apakah waktunya cocok.
Apakah cara penyampaian saya sesuai dengan
situasi yang sedang berkembang.
Kapan tegas, kapan keras, kapan lembut, dsb.
Semua itu membutuhkan ketelitian dan kecermatan.
Melaksanakan yang demikian sukar sekali,
namun kalau dibiasakan akan lancar juga.
Orang bisa karena biasa.
Orang diterima karena sikapnya.
Orang dihargai karena perkataannya.
Orang lain akan menghargai kita
kalau kita sendiri menghargai perkataan kita sendiri.
Artinya, yang kita katakan kita taati sendiri juga.
Untuk ini ada rumus lain, begini bunyinya:

"Tidak semua yang saya ketahui saya katakan.
Tetapi semua yang saya katakan harus saya ketahui."

Rumus singkat tersebut di atas mengingatkan kita pada
beberapa hal, misalnya:
Kita sangat perlu berhemat dengan kata-kata kita.
Bukankah di dalam semakin banyak kata-kata,
terdapat semakin banyak kesalahan?
Dengan berhemat tidak berarti sama sekali tidak berbicara.
Hemat artinya memilih, dan sekali lagi, memilih yang
paling tepat untuk disampaikan pada waktu yang tepat
dan sampai ke alamat yang tepat pula.
Rumus di atas juga mengajarkan kita bagaimana menyimpan rahasia.
Tidak semua yang saya ketahui saya katakan.
Jadi, masih banyak yang disimpan.

Apakah komentar Anda?

Senin, April 12, 2010

DALIL-DALIL BAGI PENDETA

PERCIKAN HIKMAT PDT. EM. BEN MALEAKHI

DALIL 4

Karir seorang Pendeta adalah perpaduan serasi
antara dedikasi dan profesi.
Keduanya dianyam rapi, wajar dan mengesankan.
Buah dari perpaduan yang serasi itu,
lahirlah potensi yang kuat dan ampuh
untuk mengatasi berbagai masalah.
Sebagai dedikasi karir Pendeta itu menembus berbagai
kendala yang timbul karena kurangnya sarana,
uang dan berbagai kendala lain.
Ia bekerja bukan karena materi.
Ia bekerja karena terpanggil untuk bekerja.
Sebagai profesi, karir Pendeta seharusnya dapat diukur, dikelola.
Berhasil-tidak-berhasilnya merupakan hal yang transparan.
Dan, karena transparan dapat dikembangkan
dengan mengikutsertakan berbagai partisipasi dari luar dirinya.

Dedikasi atau penyerahan diri dimulai dari sebuah
komitmen (atau janji setia) terhadap Tuhan sendiri.
Kemudian, barulah dijabarkan dalam bentuk apa-apa
yang mau dikerjakan dalam pelayanan.
Komitmen itu tidak timbul begitu saja,
tetapi dari proses menggumuli firman Tuhan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan firman yang demikian:

"Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup,
tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati
dan telah dibangkitkan untuk mereka." (2Kor 5:15)

Jadi, apakah ada keterpanggilan untuk hidup
bagi Tuhan dan bukan bagi diri sendiri.
Komitmen ini menuntut keseluruhan hidup.
Totalitas ini akan tercermin di dalam pelayanan seorang Pendeta.
Dia harus mulai dari penghayatan, bahwa Kristus telah mati baginya.
Sebab itu, respons yang optimal adalah penyerahan diri
yang juga sepenuhnya kepada Yesus Kristus.
Komitmen itu selayaknya diberi bentuk, agar menjadi nyata.
Kita bertanya lagi pada Alkitab, apa bentuk yang nyata itu.

Dalam kaitan dengan manusia baru
Kolose 3:5-17 menyimpulkan rumusan begini:
"Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan
atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus,
sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kol 3:17)

Segala bentuk pelayanan yang dilakukan oleh Pendeta
sebaiknya ditaruh di bawah terang firman Tuhan ini.
Melakukannya dengan sebaik-baiknya,
dalam nama Tuhan, untuk Tuhan dan bagi kemuliaan-Nya.

Selain dedikasi, pekerjaan Pendeta juga sebagai profesi.
Tidak boleh seorang Pendeta melaksanakan tugas-panggilannya
dengan cara dadakan, atau tanpa rencana.
Ia bekerja dan pekerjaannya dipertanggung-jawabkan.
Pertama-tama dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan.
Kemudian, juga dipertanggung-jawabkan kepada manusia,
yaitu Jemaat yang ia layani.
Pelaksanaan pertanggung-jawaban itu dipercayakan kepada Majelis Jemaat
Namun, sayangnya seringkali Majelis Jemaat tidak melihat tugasnya
sebagai penerima pertanggung-jawaban itu.
Sebaliknya, Pendeta ikut diam saja kalau Majelis Jemaat tidak
menugasi apa-apa dan tidak juga meminta pertanggung-jawaban.
Dengan demikian aspek profesionalitasnya kurang nampak.
Apakah komentar Anda?

Minggu, April 04, 2010

DALIL-DALIL BAGI PENDETA

PERCIKAN HIKMAT PDT.EM. BEN MALEAKHI

DALIL 3

Seorang Pendeta melakukan dua hal yang saling menunjang,
yaitu belajar dan mengajar.
Mereka yang mengajar harus terbuka untuk belajar
(those who teach should be teachable).
Mereka belajar seumur hidup.
Formal maupun tidak formal (lifelong learning).
Tanpa belajar iman tak bertumbuh (no learning, no growing).
Belajar agar layak di hadapan Allah (study to show yourself
approved to God
)

Tuhan Yesus mengajar dan mengajar serta mengajar lagi.
Hidup-Nya penuh dengan kegiatan mengajar.
Mengajar di jalanan. Mengajar di Bait Allah.
Mengajar di rumah seseorang, dst.
Nampaknya Kerajaan Allah tidak lepas dari belajar-mengajar.
Kita pun harus terlibat dalam belajar-mengajar itu, apalagi seorang Pendeta.
Hanya saja, apa yang kita pelajari dan kemudian kita ajarkan?
Sebagai bahan pokok, tentu saja yang kita hadapi adalah Alkitab,
Firman Tuhan yang kita pahami dengan pertolongan Roh Kudus.
Selain itu banyak ilmu lain. Bagaimana komposisinya?
Dalam buku: Teaching for Spriritual Growth
(Mengajar untuk Pertumbuhan Rohani)
diamati adanya kecenderungan Gereja, khususnya para Pendeta,
memakai berbagai penemuan ilmiah secara berlebihan.
Akibatnya, Firman Allah terdesak. Dan, ilmu-ilmu lain
yang seharusnya menjadi penopang mengambil alih peran teologi.
Akibatnya, yang dikuasai bukan ilmu teologi,
bukan juga ilmu pengetahuan.
Yang demikian kurang menumbuhkan iman.
Jadi, kita perlu menyadari batas-batas antara teologi dan ilmu-ilmu lain.

Biasanya, proses belajar seumur hidup menghadapi kendala yang sangat besar.
Kendala yang utama adalah yang datang dari dalam.
Para Pendeta sendiri yang kurang termotivasi untuk belajar.
Memang benar, belajar adalah pekerjaan berat (study is hardwork).
Selain pekerjaan berat, belajar adalah menyenangkan.
Kalau belajar dilakukan dengan sukacita
akan banyak memberikan hasil yang memuaskan.
Ada tulisan dalam sebuah buku yang mengatakan begini:

Belajar dengan sukacita adalah bagaikan
menempa besi ketika besi itu masih panas.
Kalau besi itu sudah menjadi dngin,
sangat sukar untuk ditempa,
diluruskan atau dibentuk.
Belajar perlu menyenangi apa yang dipelajari.

Kalau seorang Pendeta kurang menyenangi ilmu teologi
dan bergeser pada ilmu lain, maka ada sesuatu yang perlu
dibereskan.
Hal itu tidak berarti tidak boleh mempelajari ilmu lain.
Bukan juga berarti ilmu lain boleh diremehkan.
Yang perlu ditegaskan adalah teologi sebagai yang pokok.
Dan, teologi bersumber pada Alkitab sebagai Firman Allah.

Kendala berikutnya, yang dihadapi oleh seorang Pendeta untuk belajar
adalah masalah waktu.
Keluhan yang berulang kali muncul adalah: “Mana sempat .... Bukankah begitu banyak kegiatan, rapat lagi ..., rapat lagi ..., rapat yang merepotkan, dst.
Jadi, yang perlu adalah adanya kerja sama dengan Majelis Jemaat,
selanjutnya dengan Jemaat yang dilayani.
Ciptakanlah peluang yang baik untuk proses belajar.

Keluhan lain adalah minimnya dana.
Semboyannya: Seorang Pendeta makan dua macam makanan,
yaitu nasi dan lauk-pauknya.
Makanan kedua adalah buku dan kelengkapan bahasanya.
Biaya besar. Belajar memang mahal.
Namun, hasilnya sangat indah bahkan tak ternilai.
Apalagi, kalau dikaitkan dengan pertumbuhan iman
bagi dirinya dan bagi Jemaat yang dilayani.

Biasanya, kalau Pendeta-nya kurang mau belajar,
Jemaatnya pun kurang mau belajar.
Akibatnya, iman mereka tidak bertumbuh.
Masih beruntung, kalau anggota Jemaat menyadari pentingnya belajar
dan mencari kesempatan belajar di Jemaat lain,
karena di Jemaat sendiri tidak ada fasilitas untuk belajar.
Itu bukan jajan, tetapi perjuangan melengkapi diri.
Asal saja, mereka tahu ke mana alamat yang benar.
Kalau tidak, bahaya tersesat juga mengancam.
Jadi, masalah yang berawal dari Pendeta yang belajar
atau tidak belajar itu sangat penting, mendasar,
serius dan menentukan sekali.
Apakah komentar Anda?