Rabu, Maret 26, 2008

SPIRITUALITAS DALAM KOMUNITAS

UPAYA BERASKESE BAGI PARA PENDETA DENGAN BELAJAR DARI SANTO BENEDIKTUS NURSIA


Oleh : Rasid Rachman


Pengantar
Santo Benediktus dari Nursia (± 480 – 543/7) yang hidup di Italia negeri empat musim itu dalam peraturannya: Peraturan Santo Benediktus (PSB), menyebutkan bahwa cara hidup berkomunitas atau biarawan kenobit (caenobion) adalah terkokoh dibandingkan dengan tiga cara yang lain, yaitu: eremit, gyrovagi, dan scarabit.[1] Jenis rahib yang hidup berkomunitas dalam satu rumah biara dinilai paling kokoh (fortissimum) karena rahib yang satu harus mengaitkan cara hidupnya dengan rahib yang lain. Oleh karena itu, para rahib hidup di bawah satu atap dan peraturan dengan seorang abas (pemimpin biara) sebagai pemimpin biara.[2] Abas adalah seorang gembala, guru spiritual, teladan spiritual, tuan, Dominus (domus = rumah tangga), dan biara adalah sebuah schola, yakni tempat pelatihan yang mengarahkan rahib ke masa penyelamatan yang akan datang melalui keseharian kehidupan askese.[3]
Hidup berspiritualitas dijalani dengan pelatihan dan disiplin diri melalui peraturan bersama dan satu kepemimpinan. Walaupun peraturan hidup membiara tidak selalu berbentuk peraturan tulisan sebagaimana dikenal kemudian dengan Regula.[4] Semuanya dilakukan di dalam komunitas rahib/rubiah yang disebut rumah biara.


I. Komunitas sebagai tempat beraskese
Bagi Santo Benediktus, rahib tidak dapat dilepaskan dari komunitasnya. Kehidupan komunitas (koinonia = persekutuan, saling memberikan) mengikat para rahib bersama-sama secara erat untuk saling membantu, sebagaimana karunia Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh para Rasul (Ibr 13:16; Kis 4:32) dan pemazmur (Mzm 133:1).[5]
Bagi rahib, rumah biara atau komunitas adalah schola. Schola adalah bukan kampus untuk studi ilmiah, tetapi lebih pada arena pembentukan pasukan elit (corps d’élite). Para rahib disiapkan untuk maksud itu. Abas adalah komandan tertinggi bagi sepasukan “prajurit”, yakni para rahibnya.[6] Agar tata kehidupan beraskese di biara berjalan lancar, maka ketaatan para rahib kepada Abas adalah mutlak.
Dalam pola kenobit, semua kegiatan rahib dilakukan untuk kehidupan bersama dan dengan senang hati. Dalam hal harta milik, komunitas juga mengatur dan membagi secara adil harta milik setiap rahib. Pakaian ibadah, pakaian kerja, dan persoalan, adalah milik komunitas biara. Rahib menggunakan peralatan dan busana milik biara sesuai pekerjaannya, dan mengembalikannya ke tempatnya semula setelah selesai menggunakannya. PSB 33:3 menuliskan bahwa rahib tak boleh memiliki barang milik pribadi sama sekali. Hal tak bermilik ini dijalani sebagai nilai kemiskinan mutlak, tak saling terikat pada materi, sehingga rahib bebas melayani Tuhan. Jadi kemiskinan bukan tujuan monastik, melainkan cara untuk meningkatkan spiritualitas ketaatan dan keintiman dengan Allah.[7]
Dalam komunitas kenobit ada pembagian tugas, baik untuk ibadah maupun kerja harian. Hal itu dilakukan guna menjaga kepentingan bersama. Tujuan kebersamaan itu adalah rahib taat mendekatkan diri dengan Tuhan secara terus menerus. Rahib tidak melulu menghabiskan seluruh waktunya untuk berdoa dan berhening. Sekalipun kebosanan karena rutinitas kerja adalah musuh yang harus dilawan, rahib wajib bekerja dan keluar dari pertapaannya guna menghindari kekacauan pikiran dengan kesia-siaan dan hal-hal yang fana.

II. Satu kepemimpinan
Perihal Abas dikemukakan dalam RB bab II qualis debeat abbas esse, dan LXIV de ordinanto abbate. Abas adalah kepala rumah tangga dan pemerintahan (Père et Roi = Bapa dan Raja) dalam biara,[8] terutama kenobit. Abas adalah wakil Kristus dalam biara (II:2 Christi enim vices), sebab sesuai dengan nama yang dikenakannya (II:3). Keberadaan Abas/Abdis dalam biara Benediktin adalah rukun syarat (keystone); wajib diadakan karena memang harus begitu berdasarkan adat.[9] Hal ini sekaligus menginformasikan konsep Abas dalam PSB, yakni sebagaimana Αββα dalam pemahaman budaya Aram (bahasa Koptik: apa), artinya bapak. Abas sebagai bapak tidak melulu menuntut anak-anaknya, tetapi juga mendidik mereka.[10]
Abas berwewenang kuat dan berotoritas dalam biara. Yang dimaksud adalah otoritas sebagaimana kepala rumah tangga Romawi kala itu, dalam pola hidup patria potestas (kuasa ayahanda sebagaimana kekristenan awal zaman Romawi).
Sekalipun Abas berdiri pada tempat Kristus dan mengatasi semua rahibnya,[11] kuasanya bukan tak terbatas seperti kekaisaran Romawi kemudian atau zaman Republik di zamannya, melainkan menurut firman Allah (II:5-6) dan regula monastik. Wewenang Abas adalah sebatas pengaturan dan pembagian tugas.[12] Tentang hal-hal lain yang tidak diatur oleh regula – situasi darurat atau kondisi setempat – Abas dapat mengambil kebijaksanaan setelah meminta pertimbangan saran beberapa rahibnya. Namun kebijaksaan Abas adalah mutlak. Rahib harus mematuhinya, bukan dengan takut, melainkan dengan hormat. Abas bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai dan disegani. [13]
Walaupun Abas berwenang dalam menerapkan hukum, sanksi, dan keputusan, baik secara umum maupun khusus, namun wewenangnya lebih berupa penggembalaan ketimbang penguasaan. Dalam menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga, Abas membenci kejahatan tapi mengasihi para rahibnya.[14]
Abas bukan tanpa pemimpin, sebab ia adalah gembala (II:7 pastoris) yang diawasi oleh kepala rumah tangga (pater familias). Peran Abas menurut Benediktus berbeda dengan peran Kaisar dalam pemerintahan Romawi di zamannya dan tentu saja berbeda pula dengan Gereja di wilayah Italia kala itu. Hingga saat ini, sekalipun ada jabatan Abas dan para rahib, hierarki jabatan dan tata liturgi dalam biara tidak sekentara hierarki dalam Gereja. Kolegialitas para rahib/rubiah dipentingkan dalam pengambilan keputusan bersama. Hal ini tercermin pula melalui tata busana yang dikenakan secara seragam oleh Abas/Abdis dan rahib/rubiah lain, baik dalam kegiatan harian maupun untuk ibadah.[15] Demikian moto primus inter pares kadang-kadang lebih terasa di biara.
Sikap para rahib terhadap Abas adalah harus menaatinya dengan mutlak dan senang hati. Ketaatan rahib kepada Abas merupakan cermin ketaatan manusia kepada Allah dalam hal kembali kepada-Nya.[16] Para rahib harus memandang kehendak Abas mereka sebagai kehendak Allah. Hal tersebut dijalankan sebagai pelengkap hidup monastik.[17]
Sekalipun demikian, Abas bukan seorang penguasa tunggal dalam biara. Sebagai sikap timbal balik antara rahib dan Abas, Abas tidak diperkenankan mengeksploitasi para rahibnya. Sebab bagaimana pun, Abas menjadi eksis oleh karena ada para rahib. Oleh karena itu, perintah Abas dan ketaatan para rahibnya, dilakukan di dalam nama Tuhan, bukan kesewenang-wenangan atau rasa tertindas. Abas memerintah dalam rangka menerapkan Firman Tuhan dan regula biara.[18] Selanjutnya, Abas/Abdis taat kepada Tuhan.

III. Alat-alat beraskese berdasarkan PSB
Beraskese dalam hidup monastik menggunakan beberapa sarana, antara lain: makan dan puasa, beribadah harian, kerja dan studi.
III.1. Makan dipahami bukan sekadar pengisi kebutuhan perut manusia dan puasa sebagai melulu bentuk kesalehan. Lebih daripada itu, makan dan puasa ditempatkan sebagai bagian dari disiplin spiritualitas. Puasa menjadi latihan untuk menahan diri. Puasa bukan tujuan, melainkan sarana esensial mencapai pendisiplinan diri. Dengan demikian, askese mendapatkan bobotnya di dalam hidup monastik melalui berpuasa dan menahan diri.
Selanjutnya selain soal jatah makan dan minum, PSB mengatur soal jatah makan dan jatah minum, masa berpuasa, dan tugas membaca di ruang makan. Pokoknya, makan dan puasa bukan tujuan atau target hidup, melainkan bagian perziarahan manusia dalam membentuk spiritualitas. Oleh karena itu, rahib wajib menyukai berpuasa dan berpantang.[19] Puasa dan berpantang ini dapat pula dilatih dengan menahan diri dari menerima segala kemudahan.
III.2. Ibadah harian merupakan kegiatan penting bagi rahib. PSB menuliskannya sebagai opus Dei (karya Allah). Waktu-waktu ibadah harian dijalankan secara teratur dan tepat waktu. Ibadah-ibadah harian itu dijalankan pada malam dan sepanjang siang, dengan segenap jiwa dan tubuh mereka: suara, tata gerak, dan sikap berdoa yang takzim.
Jumlah tujuh kali berdoa sendiri mencerminkan praktek doa tak henti setiap saat (berdasarkan 1Tes 5:17 “tetaplah berdoa”). Penentuan jumlah sakral ini, bukan pada menjalankan “perintah” Alkitab, melainkan terlebih pada tradisi tokoh-tokoh Alkitab dan Patristik.[20] Penentuan jumlah dan waktu berdoa dalam sehari merupakan pengaturan askese agar tak terjadi raison d’être (cari-cari alasan) untuk melarikan diri dari tugas-tugas manusiawi seumumnya. Seorang rahib harus memiliki sikap dan praktek fervens monastik awal.[21] Oleh sebab itu, Benediktus menyusun regula ofisi secara lengkap, baik menyangkut waktu, daftar bacaan, tata liturgi, maupun musim. Pengaturan tersebut bertujuan agar rahib tidak berdoa selagi waktu bekerja secara campur aduk dan sekaligus, vice versa. RB memisahkan dengan tegas antara waktu untuk opus Dei dan sisa waktu hari itu untuk bekerja dan lectio Divina.[22]
III.3. Kerja dan studi dalam kehidupan komunitas tidak diabaikan. Ada kisah yang mirip kisah Antonius dengan kakaknya, begini: rahib Zakaria menghampiri Abas Silvanus dari Gunung Sinai yang sedang memperhatikan para rahib bekerja, dan berkata: “Jangan bekerja untuk mencari nafkah yang semu! Maria telah memilih bagian yang terbaik.” Lalu Silvanus berkata kepada para rahib: “Bawalah Zakaria dan tuntunlah ke dalam pondok pertapaan.” Pada sekitar pukul 15.00, Zakaria duduk di depan pintu ruang makan para rahib dan menantikan seseorang memanggilnya untuk makan. Tetapi tak seorang pun memanggilnya. Zakaria berdiri dan menghampiri Silvanus: “Abas, apakah para rahib tidak makan hari ini?” Abas menjawab: “Mereka makan.” Zakaria berkata: “Lho, mengapa Abas tidak memanggil saya untuk ikut makan?” Silvanus menjawab: “Engkau adalah seorang rohaniah (πνευματικός) dan tidak perlu makan. Tetapi kami adalah manusia jasmaniah, sebab itu kami perlu makan dan itulah sebabnya kami bekerja dengan tangan kami. Engkau telah memilih bagian yang terbaik, menghabiskan seluruh waktumu untuk membaca dan tidak ingin mengambil makanan jasmani.” Lalu Zakaria berlutut di hadapan Silvanus dan berkata: “Ampunilah saya, Abas!” Silvanus berkata: “Saya pikir Maria sangat tergantung pada Marta. Oleh karena Marta, Maria mendapat kemuliaan .…”[23]
Dalam RB XLVIII:1 kerja dipahami memiliki dua dimensi, yakni kerja tangan (opus manuum) dan kerja intelektual melalui studi (lectio divina = bacaan Ilahi). Keduanya dipahami sebagai kerja tangan harian (opera manuum cotidiana). Keduanya ditempatkan dalam kesatuan dengan ibadah harian, namun dilakukan secara bergantian satu persatu. Benediktus tidak ingin rahibnya melulu berdoa tanpa bekerja, atau melulu bekerja tanpa berdoa. Dalam sehari, rahib mengatur waktunya rata-rata 3½ - 4 jam untuk ibadah harian, 3½ - 4 jam untuk membaca atau studi, dan 6 - 8 jam untuk bekerja manual.[24] Sisanya adalah waktu tidur. Kerja manual dan kerja intelektual, adalah utama dalam hidup monastik, namun keduanya harus dijalani dengan serasi dan seimbang dengan hal-hal lain.
Sebagaimana bekerja, tugas belajar dilakukan untuk melawan kemalasan yang merupakan musuh jiwa. Belajar pun merupakan tugas esensial dan hak seorang asket. Belajar adalah metode atau disiplin untuk menumbuhkan kematangan jiwa. Jiwa yang matang mendambakan kebenaran sejati yang oleh karenanya merupakan fundamen kehidupan doa dan kontemplasi.[25]
Kerja manual dan belajar berhubungan dengan kegiatan pelatihan spiritualitas demi pengembalian jiwa manusia kepada intinya. Rahib/rubiah Benediktin tidak meremehkan disiplin spiritualitas personal di biara dalam rangka berhubungan intim dengan Allah (Ul 33:12; Mat 6:6). Salah satu metode disiplin spiritualitas itu berupa kegiatan intelektual (2Kor 3:18), yakni mempelajari Alkitab atau meditasi (PSB XLVIII:23 belajar atau membaca untuk menerjemahkan meditare aut legere), di samping ibadah.[26] Terutama membaca Alkitab melalui lectio Divina, dipahami bahwa Allah hadir di dalam rahib membaca Alkitab sebagaimana Ia hadir di dalam perayaan perjamuan kudus.[27] Kehadiran-Nya dalam bentuk karya nyata dalam sejarah Israel secara khusus dan dunia seumumnya. Tujuannya adalah supaya manusia lebih mendalami misteri Allah. Motivasi pertobatan setiap hari itu akan semakin nyata dengan terus menerus menyelami misteri Ilahi melalui penelitian Alkitab, naskah Patristik, dan liturgi.[28] Selama berabad-abad, kaum asket sejak monastik awal di gurun pasir dikenal karena kegiatannya yang sangat besar dalam membaca dan mempelajari Alkitab siang dan malam.[29] Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi kegiatan tulis menulis yang menghasilkan banyak karya sebagaimana dilakukan oleh Cassiodorus beberapa saat kemudian.




IV. Aplikasinya untuk kita
GKI bukan biara, namun GKI juga melirik innerweltliche askese atau berasake di dalam dunia (bukan dalam biara). Oleh karena itu, tak ada salahnya kita menarik beberapa nilai spiritualitas monastik bagi hidup bergereja. Saya akan paparkan dua hal yang kiranya dapat kesejajarannya (namun tidak sebanding), yaitu komunitas dan satu pimpinan.
Komunitas atau rumah biara laksana GKI bagi kita. Ada konven dan beberapa kegiatan klasikal dan sinodal yang merupakan sarana berkomunitas. Sarana-sarana yang ada bukan hanya mempererat komunitas, tetapi juga memberi nilai akan artinya kebersamaan. Di dalam komunitas yang sehat terdapat pertumbuhan. Pengerja yang lemah tidak dikucilkan sehingga merasa minder di antara yang lain. Pengerja yang lebih tidak merasa sombong hanya karena sering berbagi, karena masih ada pengerja lain yang lebih “hebat” daripadanya.
Di dalam komunitas GKI, terdapat Tager dan Tatib yang mengatur kehidupan bersama kita sebagaimana biara memiliki Peraturan Biara. Semua pengerja berjalan menurut aturannya, sehingga tidak ada yang merasa didiskriminasikan atau dimiskinkan, sementara yang lain diistimewakan. Dalam komunitas, yang diistimewakan akan merasa malu hati karena memakai yang bukan haknya.
Komunitas bukan hanya mengatur kita berjalan bersama, tetapi juga mengarahkan tujuan bersama. Dalam disiplin spiritualitas monastik, target jarang ditekankan, melainkan proses dan tujuan. Kehidupan dihayati sebagai perziarahan, sehingga “setiap momen” memiliki arti tersendiri.
Hal yang berbeda adalah keluarga. Para rahib hidup tanpa keluarga biologis; hanya keluarga komunitas. Sementara kita hidup dengan dan dalam keluarga. Namun bukan berarti kesetiakawanan dengan rekan beralasan untuk diabaikan. Pertumbuhan spiritual Pendeta juga merupakan dan diperoleh dari pertumbuhan rekan-rekannya. ƒ




Catatan-catatan
[1] Untuk Jenis dan cirri-cirinya, saya telah uraikan dalam Rasid Rachman, Kehidupan dan Spiritualitas Biara, Persetia 2002
[2] PSB 1:2-10, 12.
[3] Timothy Fry (ed), The Rule of St. Benedict, h 92.
[4] Ibid, h 168-169.
[5] George Holzherr (ed), The Rule of Benendict: a Guide to Christian Living, h 44.
[6] Lawrence, h 28.
[7] Bnd David Dom Knowles, The Benedictines: a Digest for Moderns, h 15-16; Fernando U Escobar, Struttura e Specifità della Vita Religiosa: seconda la regola di S. Benedetto e gli opuscoli di S. Francesco D’Assisi, h 58-59; dan Claude Dagens, Saint Benoît et l’Orientation du Mouvement Monastique, h 164-165.
[8] Marie de Miserey, Saint Benoît, h 53.
[9] Knowles, h 17 dan mengacu pada W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1986 untuk entri rukun syarat.
[10] Fry, h 325.
[11] Knowles, h 17.
[12] McCann, h 133-134.
[13] Lawrence, h 26-27.
[14] Miserey, h h 53-54.
[15] Miserey, h 56 menuliskan ada tiga jenis busana biara Benediktus, yaitu: jubah musim dingin, jubah musim panas, dan pakaian kerja. Ini dapat dibandingkan dengan beberapa biara di Indonesia, yaitu: jubah harian (tanpa pembedaan musim), jubah ibadah, dan pakaian kerja.
[16] Olsen, h 38-39.
[17] Knowles, h 18.
[18] Knowles, h 18-19.
[19] Fry, h 240-241 dan Vogüé, h 229 melihat RM III:13 = RB IV:13 (ieiunium amare).
[20] Vogüé, h 127-128, dan 163 mengingatkan RM 42:3-4 tentang tujuh karunia Roh Kudus (propter septiformem Spiritum) berhubungan dengan pembacaan Mazmur tujuh kali sehari. RB XVI:2 menuliskan tujuh kali, yaitu: matutino, primae, tertiae, sextae, nonae, vesperae, dan complerorii. Ada kerancuan. Tentang vigili pukul 03.00 tidak disebutkan. Matutino dan primae disebutkan dua kali, padahal itu merupakan satu ibadah pagi.
[21] Vogüé, h 129-130.
[22] Ibid., h 136-137 dan 165 membandingkan antara RM 50:20 yang memisahkan doa dan kerja, “antequam incoent laborare, orent, et postquam reexplicaverint, reorent” (Italia) dan tradisi gurun pasir awal (Mesir) di mana rahib tetap bekerja sementara mendaraskan Mazmur dan mendengarkan Alkitab.
[23] Holzherr, h 230.
[24] Décarreaux, h 226.
[25] Escobar, h 64. Vogüé, h 135 menuliskan bahwa umumnya kerja intelektual ini dilakukan selama dua atau tiga jam sehari.
[26] Sebastianus, h 36 mencatat bahwa Hieronymus (± 340) tanpa sumber, rahib yang gemar membaca dan penerjemah Alkitab Vulgata, pernah berkata kepada Eustathius (± 300 – ± 377): “Kalau engkau berdoa, engkau berbicara kepada Pengantinmu, kalau engkau membaca, ia berbicara kepadamu.” Lengkapi informasi Hieronymus pada Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Penerjemah: Conny Item-Corputy. BPK Gunung Mulia 1990, h 37-39. Cyprianus (± 200 - 258) berkata: “Baktikanlah dirimu dengan giat kepada doa dan kepada bacaan, berbicaralah dengan Allah atau Allah berbicara kepadamu.”
[27] Leloir, h 33.
[28] Delatte, h 349-350.
[29] Ibid., h 350.

Tidak ada komentar: