Minggu, April 04, 2010

DALIL-DALIL BAGI PENDETA

PERCIKAN HIKMAT PDT.EM. BEN MALEAKHI

DALIL 3

Seorang Pendeta melakukan dua hal yang saling menunjang,
yaitu belajar dan mengajar.
Mereka yang mengajar harus terbuka untuk belajar
(those who teach should be teachable).
Mereka belajar seumur hidup.
Formal maupun tidak formal (lifelong learning).
Tanpa belajar iman tak bertumbuh (no learning, no growing).
Belajar agar layak di hadapan Allah (study to show yourself
approved to God
)

Tuhan Yesus mengajar dan mengajar serta mengajar lagi.
Hidup-Nya penuh dengan kegiatan mengajar.
Mengajar di jalanan. Mengajar di Bait Allah.
Mengajar di rumah seseorang, dst.
Nampaknya Kerajaan Allah tidak lepas dari belajar-mengajar.
Kita pun harus terlibat dalam belajar-mengajar itu, apalagi seorang Pendeta.
Hanya saja, apa yang kita pelajari dan kemudian kita ajarkan?
Sebagai bahan pokok, tentu saja yang kita hadapi adalah Alkitab,
Firman Tuhan yang kita pahami dengan pertolongan Roh Kudus.
Selain itu banyak ilmu lain. Bagaimana komposisinya?
Dalam buku: Teaching for Spriritual Growth
(Mengajar untuk Pertumbuhan Rohani)
diamati adanya kecenderungan Gereja, khususnya para Pendeta,
memakai berbagai penemuan ilmiah secara berlebihan.
Akibatnya, Firman Allah terdesak. Dan, ilmu-ilmu lain
yang seharusnya menjadi penopang mengambil alih peran teologi.
Akibatnya, yang dikuasai bukan ilmu teologi,
bukan juga ilmu pengetahuan.
Yang demikian kurang menumbuhkan iman.
Jadi, kita perlu menyadari batas-batas antara teologi dan ilmu-ilmu lain.

Biasanya, proses belajar seumur hidup menghadapi kendala yang sangat besar.
Kendala yang utama adalah yang datang dari dalam.
Para Pendeta sendiri yang kurang termotivasi untuk belajar.
Memang benar, belajar adalah pekerjaan berat (study is hardwork).
Selain pekerjaan berat, belajar adalah menyenangkan.
Kalau belajar dilakukan dengan sukacita
akan banyak memberikan hasil yang memuaskan.
Ada tulisan dalam sebuah buku yang mengatakan begini:

Belajar dengan sukacita adalah bagaikan
menempa besi ketika besi itu masih panas.
Kalau besi itu sudah menjadi dngin,
sangat sukar untuk ditempa,
diluruskan atau dibentuk.
Belajar perlu menyenangi apa yang dipelajari.

Kalau seorang Pendeta kurang menyenangi ilmu teologi
dan bergeser pada ilmu lain, maka ada sesuatu yang perlu
dibereskan.
Hal itu tidak berarti tidak boleh mempelajari ilmu lain.
Bukan juga berarti ilmu lain boleh diremehkan.
Yang perlu ditegaskan adalah teologi sebagai yang pokok.
Dan, teologi bersumber pada Alkitab sebagai Firman Allah.

Kendala berikutnya, yang dihadapi oleh seorang Pendeta untuk belajar
adalah masalah waktu.
Keluhan yang berulang kali muncul adalah: “Mana sempat .... Bukankah begitu banyak kegiatan, rapat lagi ..., rapat lagi ..., rapat yang merepotkan, dst.
Jadi, yang perlu adalah adanya kerja sama dengan Majelis Jemaat,
selanjutnya dengan Jemaat yang dilayani.
Ciptakanlah peluang yang baik untuk proses belajar.

Keluhan lain adalah minimnya dana.
Semboyannya: Seorang Pendeta makan dua macam makanan,
yaitu nasi dan lauk-pauknya.
Makanan kedua adalah buku dan kelengkapan bahasanya.
Biaya besar. Belajar memang mahal.
Namun, hasilnya sangat indah bahkan tak ternilai.
Apalagi, kalau dikaitkan dengan pertumbuhan iman
bagi dirinya dan bagi Jemaat yang dilayani.

Biasanya, kalau Pendeta-nya kurang mau belajar,
Jemaatnya pun kurang mau belajar.
Akibatnya, iman mereka tidak bertumbuh.
Masih beruntung, kalau anggota Jemaat menyadari pentingnya belajar
dan mencari kesempatan belajar di Jemaat lain,
karena di Jemaat sendiri tidak ada fasilitas untuk belajar.
Itu bukan jajan, tetapi perjuangan melengkapi diri.
Asal saja, mereka tahu ke mana alamat yang benar.
Kalau tidak, bahaya tersesat juga mengancam.
Jadi, masalah yang berawal dari Pendeta yang belajar
atau tidak belajar itu sangat penting, mendasar,
serius dan menentukan sekali.
Apakah komentar Anda?

Tidak ada komentar: